Di antara nama Allah Ta’ala yang sangat indah, terdapat idiom “al-‘Afuwwu”, yang artinya Maha Memaafkan. Bahkan, nama ini dijadikan doa khusus ketika seseorang mendapatkan lailatul-qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan:
Oleh: MB Setiawan
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN KARIIMUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi maaf dan Maha Pemurah, Engkau senang memberikan maaf, maka ampunilah aku.” (HR. Tirmidzi)
Ketika Allah mempunyai nama dan sifat yang agung ini, tentu bukan sebatas menunjukkan keluasan dan kehebatan Allah semata. Tetapi, sebagai pelajaran untuk hamba-hambaNya agar bisa menjadi makhluk yang pandai memaafkan juga.
Kalangan ahli tasawuf biasa menggunakan diksi “takhallaqu bi akhlaaqi-llah” (berakhlaqlah dengan akhlak Allah). Maksudnya, asma dan sifat Allah yang indah itu, jangan hanya disikapi pada pengagungan saja, tapi hendaknya bisa terejawantahkan dalam amal perbuatan sehari-hari.
Begitu indahnya akhlak memaafkan. Seperti indahnya kisah Nabi Yusuf, yang dijahati oleh saudara-saudaranya hingga ia dibuang ke sumur kemudian menjadi budak di Mesir. Namun, ketika beliau menjadi orang besar, bendaharawan Mesir, dan mampu menutut balas, malah dengan lekas beliau memaafkan. Sebuah keindahan laku yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Keindahan memaafkan ini rupanya juga dipraktikkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan begitu mengagumkan. Pasca dibebaskannya kota Mekkah (8 H), Rasulullah meneladankan akhlak yang indah. Saat itu, beliau dengan kekuatannya, mampu menuntut balas penduduk Mekkah yang sebelum masa hijrah sangat jahat kepadanya.
Tapi, yang dikatakan oleh beliau, “Aku katakan kepada kalian seperti yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya, ‘Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian’. Pergilah karena kalian orang-orang bebas.” (Shafiyyurrahman Mubarak Furi, ar-Rahiq al-Makhtum)
Akhalak semacam ini, ternyata senantiasa dipraktikkan bagi yang memegang teguh keluhuran budi. Suatu ketika, sebagaimana yang dikisahkan Sya’ban Mushtafa Qazamil dalam buku “Qashash fi al-‘Afwi” (2006: 15), bahwa pada saat zaman perbudakan, ada kisah menarik yang beliau bentangkan.
Alkisah, ada seorang kaya dan tokoh ternama menyuruh budaknya menyiapkan hidangan untuk menjamu rekan-rekannya.
Setelah siap segala yang akan dihidangkan, sang budak menyajikannya satu persatu. Dimulai dengan mangkuk yang berisi kuah yang saat itu masih panas. Dalam perjalanan menuju meja hidangan, ia terpeleset, dan ada sedikit kuah yang tumpah mengenai pakaian tuannya.
Sang tuan naik pitam. Bahkan, menyuruh pengawalnya untuk menggorok lehernya. Ketika pelayan melihat sang tuan bersikukuh untuk mengeksekusinya, maka ia tumpahkan sekalian semua isi mangkuk ke baju tuannya.
Tentu saja, tuannya semakin gusar dan naik darah. Namun, di sisi lain, ia juga penasaran, “Bajingan! Ngapain kamu ngelakuin ini?” Sang hamba sahaya menjawab, “Tuan! Itu aku lakukan, untuk menjaga nama baikmu, agar orang-orang tidak membicarakanmu di belakang dengan ungkapan : ‘membunuh hamba sahaya dengan alasan sepele.’ Aku sengaja melakukan kesalahan yang sepadan, sehingga layak untuk dibunuh, dengan itu, orang tidak menuduh Anda telah berbuat zalim.”
Mendengar jawaban itu, tuannya sejenak termenung. Ia terhenyak sesaat, mendengar jawaban yang unik itu. Hatinya jadinya mengharu biru. Seketika dia membuat keputusan sangat indah, “Sekarang juga aku memaafkanmu karena bagusnya alasan yang kau utarakan. Pergilah, sekarang juga engkau bebas!”
Ini adalah suatu gambaran menakjubkan betapa indahnya memaafkan. Tapi, sekali lagi, sebagaimana kisah Nabi Yusuf, Nabi Muhammad dan tuan tersebut, akhlak mulia ini hanya bisa dipraktikkan oleh mereka yang mengerti dan mengamalkan secara sungguh-sungguh keindahan memaafkan yang terbit dari hatinya yang bersih dan ingin meneladani nama Allah yang disebut “al-‘Afuwwu” (Maha Memaafkan). Pertanyaannya, maukah kita menerapkan keindahan itu? (Aza)