Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 819), krisis diartikan sebagai: keadaan yang berbahaya, gawat, genting dan suram. Dan banyak ragamnya. Contohnya krisis pangan, kredit, finansial, ekonomi, kepercayaan, akhlak dan masih banyak yang lainnya.
Oleh: MB Setiawan
Dalam kondisi krisis apa pun, Islam mengajarkan pemeluknya untuk tetap optimistis. Kalau meminjam istilah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kata “al-fa’lu”. Dalam hadits Bukhari, Abu Hurairah pernah mengisahkan apa yang beliau dengar langsung –tentang masalah ini– dari Nabi Muhammad.
“Tidak ada thiyarah,” kata Nabi kepada Abu Hurairah yang artinya tidak menganggap sial terhadap sesuatu atau perasaan yang selalu pesimistis, “dan yang baik adalah al-fa’lu.” Sahabat pun penasaran mengenai makna “al-fa’lu”. Nabi pun menjelaskan:
الكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ
“(Yaitu) kata yang baik, yang didengar oleh salah seorang dari kalian.”
Kata-kata yang baik, menyejukkan, damai, menggemberikan, menenangkan adalah bagian dari optimis. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Nabi sangat senang dengan kata-kata bernada optimis. Maka sebagai umatnya, merawat sikap optimis di tengah krisis, apapun itu, menjadi suatu keniscayaan.
Suatu hari, Hamka dan kawan-kawan berkunjung ke rumah Haji Agus Salim. Tujuannya adalah, selain silaturahim, juga meluapkan rasa kangen mendengarkan petuah atau nasihat dari tokoh brilian yang hidupnya amat bersahaja itu.
Ketika diskusi berlangsung, ada yang menyampaikan krisis akhlak yang terjadi di zaman itu, ada yang menyebut kasus-kasus kecurangan, perebutan pengaruh antar pemimpun dan lain sebagainya.
Agus Salim menyimak dengan baik. Setelah mereka usai menyampaikan unek-uneknya, lantas sosok yang dikenal dengan Grand Old Man ini merespons, “Jika saudara menampak banyak sekali krisis akhlak, saya pun masih melihat akhlak yang tidak krisis.”
Kemudian beliau menggambarkan bahwa betapapun ada krisis terjadi di sana sini, tapi di sisi lain masih ada yang tak krisis, misalkan rasa aman. Tidak bisa dibayangkan jika misalnya polisi secara umum, atau polisi lalu lintas tidak menjalankan perannya dengan baik, maka orang akan kehilangan rasa aman.
Karena itulah, di tengah situasi krisis, Agus Salim tidak kehilangan sikap optimistik. Meski pada waktu itu banyak terjadi kasus, ini bukan menjadi alasan untuk membuat diri pesimis sehingga pasrah dengan keadaan.
Meski terjadi juga pada waktu itu banyak pejabat korupsi, tapi Agus Salim mengingatkan bahwa masih lebih banyak yang tidak korupsi, sehingga birokrasi masih berjalan dengan baik.
Setelah mendengar penjelasan Haji Agus Salim, maka Hamka dan kawan-kawan menari pelajaran penting yang garis besarnya adalah sikap optimis. Lebih dari itu, Agus Salim mengajarkan agar Hamka dan kawan-kawan bisa memperhatikan yang baik dalam yang buruk. Karena itulah dalam pamungkas nasihatnya Agus Salim menandaskan, “Kalau kiranya tidaklah ada orang yang ikhlas dalam perjuangan, niscaya tidaklah akan tercapai kemerdekaan negara ini.” (Hamka, Pelajaran Agama Islam, 1996: 427, 428)
Selain dari itu, pelajaran yang tak kalah penting yang didapatkan Hamka adalah kesanggupan menilai keburukan diri terlebih dahulu sebelum menilai keburukan orang lain. Dalam Musnad al-Bazzar disebutkan:
طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ، عَن عُيُوبِ النَّاسِ
“Beruntunglah orang yang sibuk dengan aibnya sendiri, dari (membicarakan) aib orang lain.”
Tidaklah mengherankan jika orang yang hidupnya disibukkan mencari-cari keburukan orang lain, akhirnya dia kehilangan optimisme dalam hidup. Sebab semuanya tergerus oleh perhatian dan fokusnya pada yang buruk. Sementara yang baik, tidak pernah diperhatikan.
Pada zaman ini, tentu banyak juga krisis yang dialami. Dari krisis moral, akhlak, kepercayaan, finansial dan seterusnya; terlebih di situasi pandemi yang tak kunjung berhenti. Tapi yang pasti, sebagai hamba Allah, tidak dibenarkan dihinggapi rasa pesimis hingga melahirkan keputusasaan.
Kuncinya, tetap optimistis, tetap melihat sisi positif dan sibuk dengan keburukan diri sendiri daripada mencari-cari keburukan yang lain. Dengan begitu, kita tetap bisa optimis di tengah krisis, dan itu menjadi energi yang dahsyat dalam menjalani hidup, sekrisis apa pun itu. (Aza)