Bila ditilik dalam kisah-kisah al-Qur`an, ada satu cerita yang menggambarkan seseorang yang dijebloskan ke dalam penjara, yaitu: Nabi Yusuf (QS. 12: 36-42).
Dia dipenjara karena fitnah, dan dua teman sepenjaranya, yang satu tukang roti kerajaan yang berakhir dengan eksekusi. Satu lainnya lagi, tukang pemberi minum kerajaan yang akhirnya dibebaskan dan dapat posisi penting dalam kerajaan.
Menariknya, dari Nabi Yusuf yang ketika itu difitnah dan dikucilkan ke penjara karena fitnah istri Aziz, tak membuat beliau meratapi nasib. Justru dalam penjara itu beliau gunakan waktunya sebaik mungkin untuk berkarya dengan tetap mengobarkan semangat dakwah. Disampaikanlah nilai-nilai dakwah tauhid kepada orang-orang yang ada di penjara, sehingga tak sedikit yang akhirnya sadar dan kembali ke jalan ilahi. Suatu pembelajaran luar biasa bagi siapapun bahwa penjara bukan halangan untuk tetap berkarya.
Sebenarnya banyak sekali contoh karya-karya yang lahir dari balik penjara, namun penulis berfokus pada tokoh-tokoh yang ada di Indonesia. Mereka yang akan ditulis di sini dengan karya dalam penjara, rata-rata dipenjara karena faktor politis, bukan benar-benar bersalah atau melakukan kejahatan sehingga pantas untuk dipenjara.
1. Kasman Singodimedjo (1904-1982).
Beliau punya karya berjudul “Renungan dari Tahanan”. Buku ini ditulis Kasman dalam penjara Rezim Orde Lama. Dalam pengantar buku cetakan ke-4 (1974: 8), beliau menuturkan, “Teks renungan ini telah selesai ditulis pada tanggal 3 Desember 196 di tempat tahanan di Puncak, kabupaten Ciajur, dimana penulis ditahan atas tuduhan bukan-bukan (info palsu) dari B.I.P. (Badan Pusat Intelejen pimpinan Soebandrio dan Kepala Setafnya Brijenpol Soetarto).”
Pada tahun 1964, karya itu bisa dibawa keluar oleh penulis sehingga bisa diterbitkan dalam bentuk stensilan dengan judul “Hayya ‘Alal Falah” (Mari Kita Menang) dalam satu jilid. Tulisan ini berisi latar belakang menulis renungan, perjuangan Islam gaya baru, Pancasila, Manipol-Usdek, Poros Nasakom, perjuangan Islam pasti menang dan susunan kata mengenai Pancasila. Bagi yang ingin menikmata buah karya beliau dalam tahanan, disarankan membaca buku ini (Renungan dari Tahanan).
2. M. Natsir (1908-1993)
Di balik penjara, beliau pernah mengarang buku berjudul “Di Bawah Naungan Risalah.” Berisi tentang kisah-kisah inspiratif yang diambil dari sejarah hidup sahabat Nabi. Tokoh-tokoh yang diangkat seperti: Abdullah bin Ummi Maktum, Ammar bin Yasir, Nu’aim bin Mas’ud dan lain-lain yang sarat akan spirit perjuangan. Kata penerbit Ramadhani (1981), “Uraian ini digubah oleh pengarangnya di tahun-tahun 60-an , sewaktu beliau berada dalam tahanan pemerintah ORLA.”
3.Buya Hamka (1908-1981)
Sudah sangat masyhur sekali saat Buya Hamka dipenjara akibat fitnah pemerintah Orla, beliau mampu melahirkan karya besar, yaitu: Tafsir Al-Azhar. Dalam pembukaan tafsirnya (1987: 53) beliau menulis, “Tuhan Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak siteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan al-Qur`anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati.”
4. H. M. Yunan Nasution (1913-1996)
Dalam buku berjudul “Kenang-Kenangan di Belakang Terali Besi di Zaman Orla” (1967) disebutkan bahwa selama ditahan di Madiun, ia telah menyelesaikan lima naskah tulisan. Satu di antaranya sudah terbit dengan judul “Dinamika Hidup” yang diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta.
Di luar tokoh ini masih ada lagi misalnya KH. Isa Anshari (1916-1969), ulama dan politisi dari Persis (Persatuan Islam), yang saat dipenjara oleh Orde Lama, tetap berkarya dalam penjara. Dalam buku “Yang Dai Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis” (1997: 94), selama di penjara Madiun, beliau masih menyempatkan diri untuk menulis naskah untuk disebarkan ke jamaah Persis. Karya itu berjudul “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam”.
5. Prof. Hasjimy (1914-1998)
Dia adalah ulama dan sastrawan terkemuka Menurut keterangan anaknya, Surya A. Hasjymy, dalam buku “A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan” (1994: 370), saat Hasjimy dipenjara di Medan selama delapan bulan (September 1953-April 1954), beliau menulis surat-surat nasihat pada anaknya. Setelah bebas, surat itu disunting dan diterbitkan menjadi satu buku oleh penerbit Bulan Bintang tahun 1987 dengan judul “Surat-surat dari Penjara”.
Bagi mereka, penjara bukanlah penghalang untuk berkarya. Bahkan kalau meminjam istilah Syekh Ibnu Taimiyah, penjara laksana taman yang semakin mendekatkan hamba dengan Tuhannya. Dengan demikian, pelajaran penting dari kisah tersebut, orang yang dibatasi akses dan geraknya saja tetap bisa berkarya, apalagi seperti penulis dan para pembaca yang budiman, yang tak terbatas penjara, maka tidak ada alasan untuk enggan berkarya. (Aza)