Pada hadits arbain sebelumnya, membahasa mengenai kemurahan dan kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala memberikan bonus pahala berlipat ganda dalam satu kebaikan.
Pada Hadits Arbain ke-38 ini, semua hamba bisa menjadi Kekasih Allah SWT. Allah Ta’ala tak pilih kasih karena Maha Kasih dan Kasih Sayang-Nya sangatlah luas. Sebagaimana kekasih Allah Nabi Ibrahim Khalilllah, serta Nabi Al-Musthafaa Muhammad SAW, Allah Ta’ala juga akan menjadikan hamba-hamba-Nya dari ummat Nabi Muhammad sebagai kekasih-Nya.
Siapa saja mereka? Tak lain dan tak bukan, adalah hamba-hamba yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dialah kekasih Allah SWT. Dalam hadits Rasulullah SAW, hamba Allah yang terus menerus mendekatkan diri kepada–Nya tergolong sebagai kekasih-Nya. Mereka adalah hamba yang menjalankan perintah wajib-Nya dan mendekatkan diri kepada–Nya dengan amalan–amalan sunnah (nafilah). Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيَّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ. وَمَا تَقَرَّبَ إِلِيَّ عَبْدِيْ بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلِيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. ولايَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا. وَلَئِنْ سَأَلَنِيْ لأُعطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ) رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku (wali-Ku), maka Aku menyatakan perang kepadanya. Tidaklah hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai (sukai) daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku pasti Aku memberinya dan jika dia meminta perlindungan kepada–Ku pasti Aku akan melindunginya.” (Diriwayatkan oleh al Bukhari, 6502)
Masya Allah wa Tabarakallah. Untuk menjadi kekasih Allah dari para hamba-hamba-Nya, hendaknyalah seorang hamba menjalankan dua syarat di atas. Yakni, mendekatkan diri dengan ibadah wajib dan mendekatkan diri dengan ibadah-ibadah sunnah. Ibadah sunnah dalam ajaran Nabi Muhammad SAW tentulah sangat luas, mulai dari amalan hati, perbuatan, ucapan, pandangan, gerak langkah, dan sebagaimanya.
Untuk mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW, tentu seorang hamba harus banyak belajar, membaca, mengaji, dan mendengar tausiah-tausiah Islam. Tanpa belajar dan mendalami ilmu agama, bagaimana mungkin kita bisa menjalankan sunnah-sunnah?
Padahal dalam Islam, mulai dari bangin tidur hingga tidur kembali sudah diatur semuanya. Dari urusan memakai sendal, pakaian, naik kendaraan, keluar masuk rumah, hingga masuk toilet pun sudah diajarkan secara terperinci berikut dengan adab dan doa-doanya.
Intinya, untuk menjadi ahli ibadah, hendaknyalah kita memiliki ilmunya terlebih dulu agar ibadah yang dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Begitu juga dengan amaliah atau kegiatan sehari-hari, semua ada sunnahnya yang menjadi tuntunan dari Nabi yang mulia Muhammad SAW.
Kata (عَادَى لِي وَلِيَّا) berarti memusuhi wali-Ku atau kekasih-Ku. Nah, siapakah wali Allah itu? Al-wali secara bahasa berarti al-qarib, artinya dekat.
Hal itu disebutkan dalam al-Qur’an, yakni:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ () الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS Yunus: 62-63).
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ
“Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Baqarah: 257)
Menurut tafsir ringkas Kemenag, mereka yang berpegang teguh pada tali yang kukuh tidak akan sendiri karena Allah selalu menemani dan melindungi-Nya. Allah adalah pelindung (wali) orang yang beriman. Dia memelihara, mengangkat derajat, dan menolong mereka. Salah satu bentuk pertolongan-Nya adalah Dia selalu terus menerus mengeluarkan dan menyelamatkan mereka dari kegelapan kekufuran, kemunafikan, keraguan, dorongan mengikuti setan, dan hawa nafsu, kepada cahaya keimanan dan kebenaran.
Cahaya iman apabila telah meresap ke dalam kalbu seseorang akan menerangi jalannya, dan dengannya ia akan mampu menangkal kegelapan dan menjangkau sekian banyak hakikat dalam kehidupan. Sebaliknya, orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, baik dari kalangan jin maupun manusia, yang mengeluarkan mereka dari cahaya hidayah kepada kegelapan kesesatan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya, dan itu adalah tempat yang palik buruk.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang wali Allah,
فَأَوْلِيَاءُ اللهِ هُمُ المُؤْمِنُوْنَ المُتَّقُوْنَ
“Wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertakwa” (Al-Furqan bayna Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, hlm. 25)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
اِدَّعَى قَوْمٌ أَنَّهُمْ يُحِبُّوْنَ اللهَ فَأَنْزَلَ اللهُ هَذِهِ الآيَةَ مِحْنَةً لَهُمْ
“Suatu kaum mengklaim mencintai Allah, lantas Allah turunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka”. Allah sungguh telah menjelaskan dalam ayat tersebut, barangsiapa yang mengikuti Rasulullah SAW, Allah akan mencintainya. Namun, siapa yang mengklaim mencintai Allah, tetapi tidak mengikuti Beliau SAW, ia tidaklah termasuk wali Allah. Banyak orang menyangka dirinya atau selainnya sebagai wali Allah, tetapi kenyataannya mereka bukan wali-Nya. Bisa dilihat, Yahudi dan Nashrani mengklaim bahwa mereka adalah wali Allah, yang masuk surga hanyalah dari golongan mereka saja, mengaku bahwa mereka adalah anak Allah dan kekasih-Nya, ternyata hanya klaim semata.” (Al-Furqan Bayna Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, hlm. 30)
Imam Ad-Daraqutni, dalam Syarah Hadits Arbain, mengatakan, Hadits Arabain di atas menjelaskan bahwa ini adalah peringatan kepada siapa pun agar tidak memusuhi kekasih (wali) Allah SWT karena Allah SWT sendiri yang akan memerangi orang-orang tersebut. Wali Allah adalah mereka yang mengikuti apa yang disyariatkan Allah SWT. Karena itu, hendaklah berhati-hati dari menyakiti kekasih Allah.
Hadits tersebut juga mengajarkan bahwa amalan sunnah tidak boleh dipandang lebih afdhal daripada amalan fardhu. Amalan sunnah dinamakan nafilah (tambahan) jika fardhu telah ditunaikan.
Syekh As-Sa’di mengatakan, wali atau kekasih Allah adalah mereka yang mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menunaikan segala kewajiban, terutama puasa, shalat, zakat, haji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan lainnya. Kemudian mendekat kepada Allah dengan amalan sunnah. Karena setiap syariat wajib adalah amalan-amalan sunnahnya sebagai amalam tambahan atau penyempurna.
Lebih lengkap, syarah hadits di atas bisa dibaca dalam Syarah Arbain An-Nawawi, baik dalam kitab berbahasa Arab atau kitab-kitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Wallahu A’lam. (Aza)