Dalam Islam, perbedaan adalah bagian dari sunnatullah (hukum Allah). Jika Allah mau, sebenarnya bisa saja manusia dibuat menjadi seragam.
Tapi manusia dibiarkan oleh-Nya dalam kondisi berbeda-beda (QS. Hud [11]: 118). Itulah mengapa, manusia tidak akan terlepas dari perbedaan.
Meski demikian, bukan berarti semua perbedaan itu dibenarkan. Selama perbedaan bukan dalam hal fundamental dalam agama, seperti perbedaan pemahaman masalah cabang fikih, dan tak merusak persatuan, masih bisa ditolerir. Tapi, kalau yang sudah menyangkut yang fundamental, misalnya Tuhan umat Islam adalah Allah, Nabinya adalah Muhammad, itu tidak bisa diganggu gugat, alias tidak bisa dijadikan perbedaan.
Sejak zaman Nabi pun ada banyak sekali contoh perbedaan-perbedaan. Tapi, yang menarik dari semua itu, perbedaan tidak sampai memutuskan pertemanan mereka. Hubungan guru-murid masih terjaga, perkawanan terpelihara, persahabatan masih erat, dan mereka masih menjalin silaturahim.
Terkait hal ini, Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam buku “Qawa’idu at-Tahdiits” (371) menggambarkan dengan sangat indah contoh perbedaan-perbedaan dalam sejarah umat Islam. Kata beliau, di kalangan sahabat dan tabi’in ada perbedaan pendapat misalnya: mengeraskan bacaan basmalah saat shalat dan ada yang tidak; ada yang qunut shubuh, ada yang tidak; ada yang wudhu setelah berbekam, dan ada yang tidak. Menarinya, mereka tetap shalat bersama-sama, seolah-olah perbedaan tidak memecah-belah persatuan mereka.
Dari empat madzhab pun juga dicontohkan dengan sangat indah. Misalnya Imam Syafi’i. Suatu hari, beliau shalat Shubuh di dekat makam Imam Abu Hanifah. Pada saat itu, beliau tidak membaca qunut sebagai bentuk menjaga adab kepada Abu Hanifah yang tak qunut shubuh.
Di nusantara pun ada banyak contoh menarik bahwa perbedaan semestinya tak memutuskan pertemanan. Suatu hari, saat berhaji bersama, Buya Hamka dan KH. Idham Chalid saat bergantian menjadi imam shubuh, keduanya mencontohkan toleransi. Ketika Hamka menjadi imam, maka dia qunut, meski pendapatnya adalah tidak qunut. Saat Idham Chalid jadi imam, beliau tidak qunut, meski pendapatnya adalah qunut. Kisah semacam ini bisa dibaca dalam buku “Perjalanan Terakhir Buya Hamka” (1981 :129)
Dalam sejarah Islam di Indonesia, juga tidak bisa dilupakan betapa kerasnya perbedaan pendapat antara Soekarno yang berpaham kebangsaan dengan A. Hassan. Mereka berdebat di medi massa. Bahkan Soekarno mengeluarkan kata-kata kasar seperti: kaum jumud, beku, kepala batu, dungu, cungak-cinguk, kaum tasbih, celak mata, pembangkang dan lain sebagainya. A. Hassan yang diserang juga membalasnya dengan sangat keras dengan istilah: kaum karet, otak lumpur dan lain sebagainya. Perdebatan ini bisa dibaca dalam buku “Islam dan Kebangsaan” karya A. Hassan.
Menariknya, secara pergaulan dan pertemanan, sama sekali tidak terganggu. Dadan Wildan dalam buku “Yang Da’i Yang Politikus” (1997: 44) menyebutkan bahwa ketika Soekarno dipenjara di Sukamiskin, maka A. Hassan dan teman-teman Pembela Islam rajin menjenguknya dan menghadiahkan buku untuknya. Bahkan, saat Bung Karno dibuang Kolonial Belanda ke Endeh, A. Hassan dan Soekarno saling berbalas surat, dan A. Hassan banyak memberi buku dan jambu mede kesukaan Soekarno.
Surat-surat itu kemudian dikumpulkan A. Hassan dan diterbitkan dengan judul “Surat-Surat dari Endeh” yang kemudian dimasukkan Soekarno dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” jilid pertama. Dalam surat-menyurat ini terdapat fakta menarik bahwa Soekarno mengakui A. Hassan sebagai gurunya.
Perlakuan baik A. Hassan pun suatu hari dibalas oleh Bung Karno saat sudah menjadi presiden. KH. Eman Sar’an, tokoh Persis yang cukup dekat dengan A. Hassan pernah menceritakan bahwa pada tahun 1953, saat A. Hassan terserang penyakit paru-paru dan dirawat di Malang, Soekarno mengirim uang 12.500 untuk A. Hassan, jumlah yang cukup besar kala itu. Dokter dan perawat yang tadinya cuek, setelah tahu A. Hassan dekat dengan Soekarno akhirnya melayaninya dengan baik. Bahkan, katanya, dipindahkan ke tempat orang penting.
Pada tahun 1956 bahkan, menurut keterangan Manshur Hassan, Bung Karno berkirim surat kepada A. Hassan untuk menyampaikan ungkapan terimakasih. Surat itu diakhiri dengan ungkapan indah, “Hutang emas dibayar emas, hutang budi dibawa mati.” Kisah ini dimuat dalam Republika 29 September 1995.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa pertemanan tidak terputus hanya karena memiliki perbedaan pendapat. Dan itu sudah dicontohkan dengan sangat baik sejak masa sahabat dan generasi setelahnya. Di Indonesia pun, tokoh-tokoh bangsa dan ulama juga memberikan teladan yang sangat baik. Semoga jejak langkah mereka bisa diikuti. (Aza)