Indonesiainside.id, Jakarta—Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yono Reksoprodjo mengatakan perang di era modern adalah perang dengan menggunakan media massa. Salah satu bentuk perang era modern adalah hadirnya buzzer bayaran.
“Perang modern bukan membunuh lawan, tapi mematahkan dan melumpuhkan lawan sehingga dia akan mati dengan sendirinya,” terang Yono dalam forum Webinar bertajuk Fenomena Buzzer dan Akun Bot di Tengah Proses Demokratisasi Indonesia, Kamis (30/9).
Yono yang juga ahli di bidang studi pertahanan itu lalu mengutip penjelasan dari ahli strategis pertahanan Amerika, yakni Martin Libicki, di mana perang di zaman ini terbagi menjadi tujuh macam. Menariknya, enam di antaranya, adalah perang melalui media digital.
Menurut Yono, peperangan dapat dilakukan dengan tiga alat, yakni alat perang konvensional (physical weapon) seperti senjata api, logical weapon seperti perangkat lunak komputer, dan psychological weapon atau senjata psikologi yang memanipulasi otak dan cara berpikir sasarannya. Buzzer, dalam konteks ini menurut Yono tergolong sebagai senjata terakhir.
Dampak paling nyata dari bahaya buzzer menurut Yono adalah terciptanya proxy (kubu) yang saling berperang di antara masyarakat yang terhasut fitnah dan propaganda buzzer. Misalnya lewat polarisasi dan pengkristalan kubu pro-kontra suatu isu.
Sementara itu, aktor politik maupun pengguna jasa buzzer mendapatkan keuntungan pribadinya. “Kurangnya literasi membuat masyarakat ikut menyuburkan buzzer,” kata Yono, dikutip laman muhammadiyah, Jumat (1/10).
Fakta lain yang menyuburkan agenda buzzer sendiri adalah masyarakat Indonesia yang menurutnya cenderung bersikap emosional, sulit berlogika dan senang dengan sensasi. Karena itu ia berkesimpulan, para pendengung atau buzzer sejatinya adalah bagian dari metode peperangan (cyber war).
Sementara itu perwakilan Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kemenkominfo RI Usman Kansong menyebut pemerintah telah bekerja keras menghadirkan dunia digital yang sehat. Dari tahun 2018 hingga 2020, Kominfo menurutnya telah membereskan 2 juta konten negatif yang sebagian besar adalah pornografi.
Terkait buzzer, Usman Kansong menyebutkan bahwa Kemenkominfo tidak bisa berbuat banyak di luar menertibkan konten digital yang memenuhi syarat untuk dihapus seperti ujaran kebencian, pornografi, radikalisme, dan sebagainya. “Karena itu para buzzer dan siapapun yang mengunggah konten-konten negatif, itu kontennya yang kita tindak dengan berbagai cara,” imbuhnya.
Untuk para buzzer atau influencer yang berfungsi sebagai buzzer dengan propaganda negatif, menurut Usman itu adalah tugas kepolisian. “Urusan Kominfo itu kontennya, bukan orangnya,” kata Usman. (NE)