Indonesiainside.id, Kutupalong—Puluhan ribu pengungsi Rohingya berkumpul di Kutupalong hari Kamis untuk mengikuti prosesi pemakaman seorang pemimpin etnis muslim Rohingya yang wafat pada Rabu. Mohibullah, seorang perwakilan internasional pengungsi etnis muslim Rohingya ditembak mati di sebuah kamp di Bangladesh oleh orang-orang bersenjata yang identitasnya belum diidentifikasi.
Dia adalah seorang guru yang telah menjadi pemimpin pengungsi utama dan juru bicara yang mewakili kelompok etnis Muslim dalam pertemuan internasional. Pada 2019, ia juga mengunjungi Gedung Putih untuk mengadakan pertemuan tentang kebebasan beragama dengan Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump.
Dalam kunjungan tersebut juga dibahas tentang penderitaan dan penganiayaan yang dihadapi oleh Rohingya di Myanmar. Amnesty International mengutuk pembunuhan itu dan mendesak pihak berwenang Bangladesh dan badan-badan pengungsi PBB untuk bekerja sama untuk memastikan perlindungan pengungsi di kamp-kamp pengungsian.
Pada Rabu malam, orang-orang bersenjata menembaknya mati di kantor yang sama di mana dia mengadakan pertemuan masyarakat. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, saudara laki-lakinya, Habib Ullah, yang mengaku menyaksikan penembakan itu, menyalahkan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). ARSA adalah sebuah kelompok bersenjata yang aktif di kamp-kamp tersebut.
“Mereka membunuhnya karena dia adalah pemimpin dan semua Rohingya mematuhinya,” kata Habib Ullah dalam video tersebut. Sebelum melepaskan tembakan, “mereka mengatakan dia tidak bisa menjadi pemimpin Rohingya dan tidak boleh ada pemimpin untuk Rohingya,” katanya dikutip Reuters.
Reuters tidak dapat memverifikasi akunnya secara independen. Mohib Ullah dikenal sebagai seorang moderat yang mengadvokasi Rohingya untuk kembali ke Myanmar dengan hak-hak yang sebelumnya mereka tolak selama beberapa dekade penganiayaan.
Dia adalah pemimpin Masyarakat Arakan Rohingya untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia (ARSPH), yang didirikan pada 2017 untuk mendokumentasikan kekejaman terhadap Rohingya di negara asal mereka Myanmar dan memberi mereka suara dalam pembicaraan internasional tentang masa depan mereka. Orang-orang bersenjata menembaki Mohib Ullah, yang berusia akhir 40-an dan menikah dengan anak-anak kecil, setelah salat magrib, kata seorang pejabat polisi kepada Reuters melalui telepon.
“Mereka menembakkan lima peluru dan segera melarikan diri. Misi pencarian kami adalah untuk menangkap para pembunuh,” tambah Rafiqul Islam, wakil kepala polisi di Cox’s Bazar. Dia mengatakan lebih lanjut bahwa polisi tambahan telah dikerahkan di kamp-kamp.
Perwakilan ARSA, yang menggambarkan dirinya sebagai organisasi pejuang kebebasan etnis, tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. (NE)