Dalam menunaikan dakwahnya, para Nabi mempergunakan segenap sarana dan prasarana halal, untuk mencapai tujuan luhur: sampainya dakwah kepada komunikan dakwah.
Mereka berjihad dalam menyebarkan nilai Islam dengan perantara lisan, bahkan keteladanan langsung dengan amal perbuatan.
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka sarana dakwah pun berkembang. Kalau sebelumnya sebatas dengan lisan dan perbuatan, kemudian disampaikan juga dengan tulisan.
Dalam Al-Qur’an, kata yang mengandung makna sarana tulis dan tulisan, misalnya: “al-Qalam” (pena) yang terdapat dalam surah Al-Qalam ayat 2, dan Al-‘Alaq ayat 4. Ada juga kata “kataba” atau “kitaabah” yang artinya menulis atau tulisan.
Bahkan kalau dibaca lebih jauh, urusan tulis menulis ini juga sampai kepada Lauhil Mahfudz dan malaikat pencatat amal baik dan buruk seseorang. Dengan demikian, pena atau tulisan demikian juga buku berikut upaya pendokumentasian dan perawatannya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sarana dakwah yang bisa disebut “Jihad Literasi”.
Pada zaman Nabi, jihad ini sudah dimulai. Dalam Suna Abi Dawud Nabi pernah bersabda, “Berjihadlah kalian pada orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lisan. ” Jihad lisan ini, termasuk di dalamnya adalah masalah literasi.
Pada zaman Nabi, sahabat-sahabat yang bisa menulis, oleh Nabi disuruh untuk menulis Al-Qur’an dengan sarana yang ada. Kadang ditulis dalam batu, tulang, pelepah kurma, kulit dan lain sebagainya.
Di antara mereka bahkan diamanahi Nabi menyampaikan dakwah dengan menulis surat, yang redaksinya dari Nabi dan disebarkan ke berbagai penguasa yang kala itu bisa dijangkau Nabi. Ada yang ke Mesir, Persia, Romawi Timur, Yaman, Syam dan lain sebagainya.
Ketika peradaban Islam berkembang maju, maka jihad literasi semakin diperhatikan. Sebuah perhatian yang cukup fantastik yang mendapat perhatian serius dari pemerintah langsung.
Lahirlah kemudian Baitul Hikmah yang kalau dilihat dari kaca mata sekarang berfungsi sebagai universitas yang di dalamnya dilengkapi dengan buku yang banyak, para ilmuan yang expert di bidangnya, dan berbagai hal yang berkaitan dengan literasi, semua begitu difasilitasi oleh pemerintah. Pada masa Khalifah Ma’mun, para penerjemah dan penulis buku dihargai dengan emas seberat apa yang mereka tulis dan terjemahkan.
Pada waktu itu, menurut keterangan Sigrid Hunke, penulis Jerman, penghormatan pada rana literasi membuat buku berikut yang terkait dengannya menjadi hal yang bergengsi. Orang terpandang dinilai dengan seberapa banyak buku koleksinya dan seberapa serius dia menekuni bidang literasi.
Demikianlah jihad literasi terus berkembang hingga Islam sampai ke nusantara. Ulama yang juga penulis yang sering didengar seperti, Hamzah Fansuri, Nurudin Raniri, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdul Shamad Al-Falimbangi dan lain-lain termasuk ulama yang produktif dan peduli literasi.
Hal ini terus berjalan, bahkan menjelang kemerdekaan dan seterusnya. Sosok seperti Syekh Abdul Karim Amrullah, KH. Ahmad Dahlan, H. Agus Salim, Cokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, M. Natsir, M. Roem, Buya Hamka dan masih banyak yang lainnya, adalah tokoh dan ulama Islam yang sangat serius memperhatikan jihad literasi.
Rata-rata, mereka menerbitkan majalah, menjadi redaktur, menjadi penulis dan mengelola penerbitan. Allah Yarham, Buya Hamka misalnya, beliau ini bukan hanya penulis, tapi juga wartawan, redaktur majalah, bahkan pengelolanta. Dari tangan dingin beliau, lahir misalnya majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan lain sebagainya yang menjadi corong jihad literasi.
Dari beberapa keterangan tersebut, nyatalah bahwa dakwah literasi sangat penting dan cukup signifikan. Terlebih, pada zaman digital seperti ini, di mana media tulis sudah demikian pesat, maka umat Islam perlu mengikuti perkembangan sarana yang kian canggih itu untuk mewujudkan keberhasilan jihad literasi. Rubrik “Risalah” dalam Indonesiainside ini adalah di antara upaya serius untuk menjaga kelangsungan jihad literasi, agar umat Islam dan bangsa ini mendapat pencerahan dan edukasi menuju kehidupan yang luhur. (MB. Setiawan)