Hal yang sangat penting diupayakan dalam shalat adalah kekhusyu’an. Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menandaskan bahwa khusyu ialah hati yang patuh dengan sikap badan yang tunduk.
Terkait masalah khusyu, Buya Hamka membuat tamsil demikian, “Sembahyang (shalat) dengan khusyu’ adalah laksana tubuh dengan nyawa.” Jadi, tidak bisa dikatakan khusyu’ orang yang shalat hanya yang penting badannya gerak tanpa melibatkan ruh dan jiwa di dalamnya.
Suatu hari, Abu Darda’ berkata, “Mintalah pertolongan kepada Allah dari kekhusyuaan orang munafik!” Kemudian, ada yang penasaran dan bertanya kepada beliau, “Apa yang dimaksud dengan khusyu ala orang munafik?” Beliau menjawab, “Jasadnya terlihat khusyu, sedangkan hatinya tidak.”
Jika khusyu’ dalam shalat itu sangat penting, lalu bagaimana cara untuk menciptakan kondisi yang khusyu dalam shalat? Pada tulisan ini akan dijawab secara berseri tips untuk mendapatkan shalat yang khusyu. Tips pertama adalah: memahami bacaan shalat.
Memahami bacaan shalat sangat penting untuk mewujudkan kekhusyu’an. Mengapa demikian? Bagaimana mungkin seorang hamba bisa bermesraan dengan Tuhannya dengan jiwa dan raganya, kalau tidak mengerti bahasa yang dijadikan komunikasi. Memahami bacaan tak harus menguasai bahasa Arab. Orang yang tak mengerti bahasa Arab, bisa membaca buku terjemahan tentang doa-doa shalat yang membuatnya bisa memahami apa yang sedang dibaca.
Mengapa Nabi Muhammad, para sahabat beliau dan generasi shalih setelahnya bisa shalat khusyu? Salah satunya karena mereka memahai bacaan shalat. Maka tidak mengherankan, saat shalat ada yang sampai menangis, mampu berdiri berjam-jam dengan bacaan tartil, bahkan ada yang shalat semalam penuh dengan mengulang-ulang bacaan satu surah. Mana mungkin mereka bisa mendapatkan suasana seperti itu jika tak paham apa yang dikatakan.
Suatu saat, saat Imam Bukhari Rahimahullah hendak shalat Zhuhur secara berjamaah, beliau terlebih dahulu menunaikan shalat sunnah. Seusai shalat, beliau mengankat ujung jubahnya.
Kemudian beliau bertanya kepada teman-temannya. “Copa lihat, apa di ujung jubahku ada sesuatu?” Ternyata ada lebah yang menggigitnya pada 17 tempat di badannya. Sampai-sampai badan yang digigit secara berbarengan itu bengkak.
Melihat kondisi demikian, di antara mereka ada yang memberanikan diri bertanya, “Kenapa tidak membatalkan shalat saja saat pertama kali lebah itu menyengat?”
Jawaban Imam Bukhari di luar dugaan mereka, “Aku sedang membaca surat. Aku lebih suka untuk melanjutkannya (sampai selesai).” (Baca: Munjidul-Khatib, 204)
Imam Bukhari asyik dan menikmati bacaan al-Qur`an yang beliau baca saat shalat karena beliau memahaminya. Apa saat digigit tidak sakit? Tentu merasa sakit. Tapi, beliau tetap meneruskannya karena menikmati bacaan dalam shalat yang didasarkan dengan pemahaman, bukan sekadar bacaan.
Ada juga peristiwa mirip. Suatu ketika Abu Bakar Ash-Shibghi melihat Muhammad bin Nashr Al-Mawarzi sedang shalat. Pada saat itu, di keningnya ada hewan yang menggigitnya, sehingga mengalirlah darah dari keningnya. Menariknya, beliau tak berpengaruh dengan hal itu, tidak bergerak sama sekali dan tetap meneruskan shalatnya.
Apa rahasia dari dua peristiwa ini, beliau berdua bisa nyaman dan asyik dalam shalatnya karena khusyu? Ini adalah kekhuyu’an yang didasari dengan pemahaman terhadap arti bacaan shalatnya.
Oleh karena itu, tips pertama untuk mendapat shalat khusyu’, adalah memahami bacaan shalat. Kalau asal baca dan tak mengerti, maka shalat hanya akan menjadi semacam rutinitas. Memang benar badannya bergerak, tapi hatinya lalai.
Dalam kitab Ihya Ulumiddin, disebutkan bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Dua rakaat shalat dengan sempurna tafakkur, adalah lebih baik daripada mengerjakan shalat semalam suntuk, sedang hati itu lupa.” Orang yang bisa tafakkur tentu yang memahami bacaannya. Ini lebih baik daripada jumlah shalat yang ditunaikan banyak tapi lalai hatinya, yang salah satunya disebabkan dirinya tak memahami bacaan shalatnya. (Aza)