Ketika Kemal Ataturk dengan ide sekularisasinya berusaha memisahkan Islam dari Turki dan berusaha membungkam para ulama dengan kekerasan, rupanya masih ada ulama pejuang. Tulisan ini akan mengungkap tentang Said Nursi dan perlawanan terhadap Sekularisasi Ataturk.
Badi’uzzaman Sa’id Nursi berasal dari suku Kurdi-Turki. Beliau dilahirkan pada tahun 1877 Masehi. Sudah jamak diketahui bahwa suku Kurdi dikenal sebagai pemeluk agama yang taat.
Sejak kecil beliau dididik dengan pendidikan agama yang baik. Pada usia 9 tahun sudah belajar agama Islam dengan menghafal al-Qur`an dan pelajaran Islam lainnya. Seiring dengan bertambahnya usia, bertambah pula keilmuannya.
Dalam proses pematangan keilmuan itu, beliau tidak lupa membuka diri dari informasi dunia luar dengan membaca surat-surat kabar. Saat itu kondisi Daulah Utsmaniah sedang digerogoti dari luar dan dalam. Sampai ada analogi seperti: orang sakit yang hampir mati.
Kapan Badi’uz Zaman Sa’id Nursi turun ke gelanggang perjuangan? Nawawi Dusky dalam artikel Badi’uzaman Said Nursi yang dimuat dalam majalah Suara Masjid (66, VIII: 1980) menerangkan bahwa pertama kali Said turun berjuang adalah ketika membaca keterangan Perdana Menteri Inggris, Lord Gladeston yang di antaranya berkata:
“Benar, selama kaum Muslimin berpegang teguh dengan hukum Islam dan ajaran Qur`an maka tidak mampu kita menguasai mereka dan semua pintu tertutup bagi kita.” Sejak itu, Sa’id Nursi bersumpah di depan para muridnya untuk berjuang membela islam dengan ruh dan jasadnya.
Beliau kemudian pergi dari kampung halaman dan pindah ke Istambul yang saat itu menjadi Ibu Kota. Di sanalah Said Nursi memulai perjuangannya. Waktu itu, ia bercita-cita membangun universitas Islam dengan nama: Al-Zahra sebagaimana universitas terkenal Al-Azhar Kairo.
Ketika gerakan Turki Muda mendominasi dan bisa menggulingkan Daulah Utsmaniyah, Said tak tinggal diam. Beliau berusaha mendekati gerakan keislaman yang masih dianggap memegang teguh nilai Islam seperti Ittihad dan Taraqqi. Namun, setelah ia tahu bahwa gerakan ini –sebagaimana Turki Muda– disusupi oleh gerakan Mason Yahudi, maka dia segera keluar dan mendirikan organisasi bernama Ittihadul Muhammady.
Melalui wadah inilah kemudian Nursi berjuang menentang gerakan yang dibina Yahudi dan perjuangan dakwahnya didasarkan pada Qur’an dan Sunnah. Selain itu, juga memperingatkan umat agar tidak terjatuh dalam pangkuan Barat. Ini jelas bertentangan dengan sekularisasi Turki ala Kemal Ataturk.
Gerakan Ittihad dan Taraqqi memandang gerakan Said Nursi berbahaya dan berusaha melancarkan berbagai fitnah hingga banyak di antara mereka yang dipenjara, bahkan ada 15 orang dihukum mati. Said Nursi pun harus mengalami nasib sama: dimasukkan ke dalam jeruji besi.
Saat ditanya oleh Khursyid Pasya, Ketua Mahkamah, “Engkau pula yang akan menegakkan syariat Islam?” Maka dengan tegas Said Nursi menjawab: “Sekiranya aku memiliki seribu roh, maka aku akan korbankan semua (satu ganti yang lain) untuk membela Islam,” demikian tegas Said. Waktu itu Nursi dijatuhi hukuman mati, namun tidak jadi dilaksanakan karena takut gejolak publik.
Setelah keluar penjara, beliau pindah ke Damaskus dan di sana menyampaikan khutbah yang terkenal kemudian dibukukan menjadi “Khutbah Samiyah”. Melalui khutbahnya itu ia menerangkan bahwa dengan membela akidah Islam, umat Islam dapat menggantikan kemajuan Barat. Karena Barat itu kosong dari pengarahan rohani.
Tak lama beliau di Damaskus. Kemudian pergi lagi ke Turki merealisasikan cita-citanya mendirikan Universitas Islam, yang mana ilmu umum dan agama sama-sama dipelajari. Hanya saja, keinginannya kandas karena meletusnya Perang Dunia I.
Saat itu, Said Nursi ikut berjuang membela negaranya bersama Angkatan Perang Turki. Bahkan sempat menjadi tawanan Rusia. Ia dijatuhi hukuman mati. Namun tidak jadi karena Nikola terharu atas keteguhannya. Dan ia pun hidup dari penjara ke penjara (Rusia-Siberia). Dengan segala perjuangan, ia akhirnya bisa melarikan diri.
Saat kembali ke Turki, Mustafa Kemal Ataturk mengundangnya untuk menghadiri resepsi ulang tahun Ibu Kota Ankara. Betapa kecewanya Nursi saat tahu bahwa Kemal mengabaikan bahkan memusuhi agama. Beliau pun meninggalkan Ankara dan meninggalkan sebuah memorandum.
Memorandum itu berisi peringatan agar takut kepada Allah dan jangan silau dengan kemenangan. Ada juga ajakan untuk tidak mengikuti Eropa. Mendengar memorandum ini, Ataturk marah. Nursi tidak takut, bahkan menentangnya. Kemal berusaha membujuk Nursi dengan iming-iming dunia, tapi itu tak ada gunanya. Said Nursi kemudian pergi ke Panili membina para pemuda dan berdakwah. Akhirnya, karena takut akan pengaruhnya, Nursi pun dipenjara bersama muridnya dan di sana berhasil menulis tafsir dan risalah lainnya. risalah ini kemudian dikenal dengan “Risalah An-Nur.” Demikianlah Said terus berjuang dari penjara ke penjara melawan sekularisasi. Sampai kemudian meninggal dunia pada 1960 dalam penjara pada usia 86 tahun.
Menariknya, dalam buku “Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi” karya Sukran Vahide, dijelaskan bahwa perlawanan yang dilakukan Said Nursi kepada sekularisasi ala Ataturk atau sistem sekular dan nasionalis, bukan dengan jalan pemberontakan, tapi pendidikan. Yang dilakukan Nursi dengan Risalah An-Nur adalah gerakan pencerdasan umat. (MBS)