Dalam kamus Al-Munawwir (486), kata Murtad terambil dari kata irtadda-yartaddu-irtidaadan yang artinya kembali, mundur, membalik dan murtad atau kembali ke bentuk semula. Bagaimana hukum murtad dalam Islam?
Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah (1977, II: 450) mendefinisikan murtad dengan pengertian demikian: keluarnya seorang muslim yang berakal dan balig dari agama Islam pada agama kafir atas keinginannya sendiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun, baik yang bersangkutan laki-laki atau perempuan.
“Keluar dari agama Islam atas keinginan sendiri tanpa tekanan,” ini menjadi penting untuk digarisbawahi karena hukum murtad dengan terpaksa tidak masuk kategori murtad. Ini seperti kasus Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu yang terpaksa mengucapkan kalimat murtad akibat siksaan yang sangat berat.
Kemudian turunlah ayat tentang hukum murtad dan yang berkenaan dengan kasus Ammar bin Yasir: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),” (QS. An-Nahl [16]: 106)
Masih terkait masalah murtad, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidaayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtasid (2004: 242) menyebutkan hukum tentang murtad atau keluar dari agama Islam. Secara umum, hukum murtad adalah jika yang melakukan adalah laki-laki hukumnya adalah mati.
Ini berdasarkan hadits Nabi berikut:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan Daruquthni)
Adapun jika yang melakukan perbuatan ini adalah perempuan, maka di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa perempuan yang murtad juga dihukum mati. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan murtad tidak dihukum mati, tapi dipenjara.
Hal yang tidak kalah penting sebelum dilakukan hukuman adalah permintaan tobat pada pelaku murtad. Terkait hal ini, Imam Malik menyebut bahwa hal ini sebagai syarat sebelum dihukum mati sebagaimana riwayat Umar. Ulama lain ada yang berpendapat, tobatnya tidak diterima.
Adapun tenggang waktu untuk bertobat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat diberi jeda waktu selama 3 hari dengan mengingatkannya pentingnya bertobat. Pada zaman Umar, ada laki-laki dari Syam yang mengabarkan telah membunuh orang murtad di Syam. Umar pun berkomentar, “Mengapa kalian tidak mengurungnya selama tiga hari.” Maksudnya untuk memberinya waktu untuk bertobat.
Ada juga riwayat dari Ibnu Bathal terkait Ali bin Abi Thalib yang memberi jeda waktu untuk orang murtad selama satu bulan. Terlepas dari perbedaan jeda waktu, yang jelas mereka sepakat bahwa hukuman mati itu dilakukan setelah ada upaya untuk diminta bertobat.
Ada beberapa contoh perbuatan yang oleh ulama –berdasarkan dalil—dihitung sebagai kekufuran atau murtad dari agama Islam: mengingkari sesuatu yang mendasar dalam agama, seperti: keesaan Tuhan, kenabian Muhammad dan lain-lain; menghalalkan sesuatu yang haram; mengharamkan perkara halal; mencela Rasulullah; mencela agama Islam; mengaku dapat wahyu; melempar Al-Qur’an ke tempat kotor sebagai bentuk pelecehan dan penistaan dan masih banyak yang lain.
Dalam agama Islam, murtad termasuk kategori dosa yang sangat besar. Konsekuensi dari murtad bisa menggugurkan semua nilai kebaikan yang pernah dimiliki sebelum keluar dari Islam. Sedangkan di akhirat akan mendapat siksaan yang sangat pedih. Terkait hal ini bisa dibaca dalam surah Al-Baqarah ayat 217.
Jabir Radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita bahwa pada zaman Nabi ada perempuan yang dikenal dengan panggilan Ummu Marwan keluar atau murtad dari agama Islam. Kemudian Nabi memerintahkan kepada para sahabat untuk mengajaknya bertobat atau kembali pada Islam. Sayangnya, ia menolak sehingga dijatuhi hukuman mati. Riwayat ini didasarkan pada Daruquthni dan Baihaqi.
Pada masa Abu Bakar, beliau pernah memerangi orang yang murtad dari agama Islam. Pernah juga terjadi pada masa beliau ada perempuan bernama Ummu Qirfah yang murtad dari agama Islam. Karena enggan bertobat, akhirnya ditetapkan hukuman mati baginya.
Dalam Islam, murtad juga memiliki konsekuensi hukum yang lain, seperti: putusnya hubungan pernikahan, tidak berhak mendapat waris dan tidak mendapat hak perwalian. Itulah beberapa hal terkait masalah murtad.
Intinya dalam masalah ini harus benar-benar hati-hati tidak boleh gegabah. Kapasitas yang memberi hukuman itu pun adalah negara, bukan individu. Yang tidak kalah penting, perlu didahului dengan usaha-usaha persuasif yang membuat orang murtad bisa kembali pada Islam dengan dialog dan permintaan tobat. (MBS)