Jika engkau ingin tahu, maka para pendusta agama, hisab, dan hari pembalasan adalah orang yang menghardik anak yatim, menyakiti hatinya, dan berbuat zalim kepadanya dengan menahan haknya. Dia tidak lagi peduli terhadap anak yang sudah kehilangan tumpuan hidupnya itu.
Demikian tafsir ringkas Kemenag mengenai ayat 2 dalam Surat Al-Ma’un. Kemudian dilanjutkan pada ayat ketiga, bahwa para pendusta agama adalah orang yang tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin. Orang miskin dimaksud adalah mereka yang tidak mempunyai kecukupan untuk memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari.
Sebagaimana firman Allah SWT:
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ – ١
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ – ٢
Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,
وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ – ٣
dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat, Selasa (26/10), mengatakan, Surat Al-Ma’un diawali dengan pertanyaan yang cukup menohok, “tahukah kamu siapa yang mendustakan agama?” Inti dari Al- Ma’un ini adalah ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial.
“Mendustakan agama itu kan seakan-akan beragama, seakan membawa simbol-simbol agama, tetapi sebenarnya dia tidak, inilah yang mendustakan agama. Jadi beragamanya tidak sungguh-sungguh, hanya simbolistik, dan formalitas semata,” terang Pria kelahiran Kulonprogo, 24 Januari 1968 ini.
Teologi Al-Ma’un yang digagas dan dikembangkan oleh Kiai Ahmad Dahlan dipandang berhasil membawa gerakan Muhammadiyah membebaskan kaum lemah dari ketertindasan. Misalnya, dengan perwujudan konkret adanya pendirian panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Saat ini lembaga-lembaga sosial Muhammadiyah tersebar luas di seluruh Tanah Air.
“Perilaku yang mendustakan agama itu di antaranya adalah menghardik anak yatim, tidak memelihara mereka, tidak menyantuni fakir miskin, dan mereka yang tidak peduli pada orang-orang yang lemah. Dari QS. Al Maun ini lahir ide untuk melakukan pemberdayaan masyarakat,” dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Jika Kiai Dahlan mengajarkan surat Al-Ma’un kepada murid-muridnya selama tiga bulan, kemudian melahirkan tindakan sosial praksis, maka surat Al-’Ashr diajarkan lebih dari delapan bulan. Menurut Agung, pada saat itu penduduk setempat terheran mengapa surat Al-‘Ashr yang menempati urutan ke 103 ini begitu singkat bisa sampai berbulan-bulan dalam proses belajar-mengajarnya.
Dari QS Al-‘Ashr, Kiai Dahlan mentradisikan pergerakan Muhammadiyah menjadi golongan yang selalu disiplin tepat waktu dan menjadi gerakan Islam modern atau kekinian. Karenanya, Muhammadiyah memahami Al-Ashr bermakna modern yang mengandung semangat berkemajuan dan berpikiran yang serba melampaui zaman.
“Dengan ini, Muhammadiyah terkenal bijak ketika menghadapi isu-isu kontemporer, ketika menghadapi gegap gempita yang ada di luar. Ketika melihat sesuatu itu urgen, Muhammadiyah akan tampil paling depan, tapi kalau tidak urgen, menanggapinya cukup sewajarnya saja,” tegas Agung. (Aza)