Indonesiainside.id, Jakarta – Gereja Katolik Prancis didesak untuk mengusut tuntas pelecehan seksual yang dilakukan oleh para rohaniwan kepada anak-anak di bawah umur. Mereka semua harus diusut secara hukum karena melecehkan ratusan ribu anak di bawah naungan gereja katolik.
Selama ini Gereja Katolik Roma berlindung dibalik imunitas atau kekebalan diplomatik. Janji-janji gereja untuk berubah juga jauh dari kenyataan.
“Bukan hanya sekedar meminta maaf, pengakuan bersalah dan memberi kompensasi kepada para korban,” kata para penyintas pelecehan seksual kepada RT.com, Ahad (7/11).
Pada hari Jumat, Konferensi Waligereja Prancis (CEF) yang berpengaruh mengakui bahwa Gereja memikul “tanggung jawab institusional” atas sejumlah kasus pelecehan anak dalam jajarannya.
Pernyataan itu muncul sebulan setelah penyelidikan independen yang dipimpin oleh mantan Wakil Presiden Dewan Negara Jean-Marc Sauve yang memperkirakan bahwa 216.000 anak-anak dilecehkan oleh para imam, diakon, dan pekerja keagamaan lainnya antara tahun 1950 dan 2020.
Arnaud Gallais, pendiri Prevenir et Proteger (Mencegah dan Melindungi), sebuah kelompok pendukung untuk para penyintas pelecehan seksual, mengatakan kepada RT bahwa pengakuan tanggung jawab kepemimpinan Gereja adalah langkah yang “positif”, namun terlambat.
Sampai baru-baru ini, Gereja “telah memandang dirinya berada di atas hukum,” dan pengakuan yang tulus adalah minimal dari apa yang harus dilakukan para pendeta untuk mengatasi kejahatan tersebut, tambahnya.
Gallais merupakan korban pelecehan seorang misionaris Katolik, kerabat jauhnya, ketika dia berusia antara delapan dan 11 tahun. Kesaksiannya termasuk di antara banyak kisah tragis yang dicatat oleh Komisi Sauve.
Kata-kata bersalah dan penyesalan Gereja sekarang harus diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk mencegah kejahatan lebih lanjut, Gallais menekankan, menambahkan bahwa para uskup harus membayar kompensasi kepada para korban, yang banyak di antaranya masih berjuang dengan trauma. Juru kampanye itu mengatakan pemerintah Prancis harus meminta pertanggungjawaban Gereja, memaksa para pendeta untuk “menjamin keselamatan anak-anak.”
“Vatikan menikmati kekebalan diplomatik terkait kasus-kasus pelecehan seksual semacam itu,” kata pengadilan hak asasi manusia Eropa.
Penyintas lainnya, Francois Devaux, salah satu pendiri La Parole Liberee (Liberated Word), sebuah asosiasi korban pelecehan seksual, sama-sama skeptis tentang keinginan Gereja untuk perubahan yang sebenarnya.
“Gereja hanya bisa menyampaikan kata-kata, tapi berharap adanya perubahan ke depan sangat jauh dari kenyataan,”
Devaux, yang dilecehkan oleh seorang imam ketika dia menjadi seorang pramuka berusia 11 tahun, mengatakan kejahatan yang meluas terhadap anak-anak menghancurkan iman di Gereja Katolik tidak hanya di Prancis, tetapi di seluruh dunia.
“Sekarang terserah kepada Paus Fransiskus untuk mengakui tanggung jawab institusional Gereja “untuk semua kejahatan dan pelanggarannya, serta karakter sistematis dan skala menakutkan mereka,” kata Devaux kepada RT.
Luc Crepy, kepala unit anti-pedofilia CEF, mengatakan minggu ini bahwa masalah kompensasi akan ditangani saat Gereja memutuskan metode untuk menghitung berapa banyak yang harus diberikan kepada para korban.
“Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, kami akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk memberikan angka. Biayanya mulai beberapa ratus ribu euro,” kata Sekretaris Jenderal CEF Hugues de Woillemont kepada wartawan. (Nto)
(Ant/Nto)