Indonesiainside.id, Yogyakarta – Perdebatan keras tentang Permendikbud Nomor 30 adalah contoh terbaru dari kebuntuan demokrasi dan Pancasila. Kemudian era ini ditandai dengan era demokrasi semu yang akan membawa demokrasi pada proses ekstremitas.
“Saya pikir isu yang terakhir di Indonesia soal Permendikbud itu juga bagian dari ekstremitas demokrasi dan hak asasi manusia,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam forum webinar UMY bertajuk Moderasi Indonesia untuk Dunia, Senin (15/11).
Haedar Nashir mengutip pendapat Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), bahwa demokrasi sering dibunuh bukan oleh rezim otoriter semata, tetapi oleh masyarakat sipil itu sendiri. Menurut dia, ada hal yang menarik ketika perkembangan demokrasi di dunia begitu masif dan luas. Namun, muncul asumsi kematian demokrasi.
“Kematian demokrasi tidak berada di tangan rezim militer seperti pada era beberapa dekade sebelum ini. Justru kematian demokrasi akan berada di tangan para pemimpin negara yang non-militer tetapi membajak demokrasi,” kata Haedar yang juga Guru Besar ilmu Sosiologi UMY, dikutip dari Muhammadiyah.or.id.
Menurut dia, Konsep negara sejahtera lebih berpeluang terwujud jika unsur penting seperti Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) terjamin dan terkelola dengan baik. Bagi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia seperti Indonesia, konsep ideal pengelolaan demokrasi belum menemukan rumus yang tepat.
Hal ini nampak pada sering terjadinya perdebatan mengenai kebijakan publik yang dianggap bernafas sekular-liberal dan berbenturan dengan dasar negara yakni Pancasila. Haedar Nashir memandang, jika Indonesia tidak segera menemukan rumus yang tepat, demokrasi bisa beralih menjadi kontraproduktif bagi bangsa Indonesia ke depan.
“Dan (demokrasi) ini jadi pesta pora bagi bangsa kita yang sering tidak punya kemampuan mengkonsolidasi pada titik yang moderat dan kita tidak tahu nanti ujung kita mengelola demokrasi ini,” katanya.
Menurut Haedar, perdebatan yang terjadi nampak timpang dengan semangat demokrasi itu sendiri. Masyarakat sipil pendukung Permendikbud bukan hanya tidak memberi ruang argumentasi bagi pihak yang berlawanan pendapat. Bahkan sebagian influencer melakukan penyematan dengan menyebut pihak kontra sebagai ‘mati otak’ hingga membingkainya dalam posisi ‘pembela penjahat kelamin’ tanpa memperhatikan alasan-alasan dari pihak yang kontra secara jernih.
Haedar Nashir lebih lanjut menuturkan bahwa pengerasan masyarakat sipil bukanlah satu-satunya hambatan bagi terbentuknya demokrasi yang ideal bagi negara Pancasila seperti Indonesia. Dia menilai jika demokrasi tidak dikelola dengan baik, akan menjadi problem baru di mana kekuatan-kekuatan sipil itu tidak kalah otoriternya dengan kekuatan militer ketika dia dibangun di atas oligarki.
“Oligarki ekonomi, oligarki politik, bahkan saya menambahkan satu istilah oligarki keagamaan di mana ada kelompok-kelompok agama yang merasa paling berkuasa di negara-negara, di tengah agama-agama itu hidup. Ini bisa menjadi proses kematian demokrasi,” ungkapnya.
Bagi Haedar, perdebatan Permendikbud 30 juga menyisakan pertanyaan apakah Indonesia masih berkomitmen untuk mengejawantahkan nilai-nilai batin bangsa Indonesia seperti Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa dalam perjalanan negara ini ke depan?
Haedar lalu mengutip penjelasan Roy Scranton dalam Learning to Die in Anthropocene bahwa tantangan terbesar zaman ini adalah tantangan filosofis di mana peradaban manusia yang terlalu pragmatis dan instrumental. Di sinilah sebenarnya orang harus kembali pada ide-ide metafisik yang mungkin sekarang dianggap sebagai hal yang tidak berguna.
Karena demokrasi, paham hak asasi manusia, dan mungkin juga pemikiran yang sekular dan liberal di atas humanisme sekular yang dibangun sejak abad ke-18 di Eropa, hal-hal metafisik, agama, Pancasila, kebudayaan luhur bangsa, menjadi sesuatu yang subordinate dari pikiran-pikiran yang ekstrem tentang demokrasi, tentang HAM, dan pemikiran-pemikiran yang orang sebut sebagai post-modernisme yang sebenarnya liberal sekular.
“Nah dalam konteks ini maka hati-hati bahwa Indonesia sebenarnya punya problem yang oleh Scranton disebut sebagai persoalan filosofis dan metasifik. Maka dalam rangka proses ini pertama kita perlu sebuah ikthiar,” katanya. (Aza/ muhammadiyah.or.id)