Indonesiainside.id, Yogyakarta – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meluncurkan buku berjudul: “Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan”. Haedar dalam sambutan di Launching buku secara hybrid di Kantor PP Muhammadiyah tersebut mengatakan, tulisan yang diterbitkan itu melekat dalam perjalanan intelektual dan spiritualnya.
Doktor Sosiologi ini menuturkan, terlebih di masa pandem ini menjadikan dirinya memaksa untuk produktif melalui menulis. Saat ini dirinya sedang proses merampungkan tulisan untuk buku barunya yang belum diberi judul, dan diperkirakan akan terbit pada bulan Januari 2022.
“Ke depan saya bercita-cita ingin nulis tentang Islam secara komprehensif, dan saya ingin bikin yang tebal,” katanya, dilansir Muhammadiyah.or.id, Selasa (16/11).
Haedar menjelaskan, menulis merupakan cara jitu baginya untuk memaksa dirinya berpikir. Hal ini yang kemudian menjadikan dirinya menjadi orang yang resah jika ada orang yang salah berpikir, tidak logis, dan resah akan tindakan yang tidak adil.
Ketika seorang menulis, kata dia, maka sekaligus memaksa orang tersebut untuk membaca. Menurut dia, membaca menjadikan manusia memiliki daya hidup. Karena itu, ia mengajak generasi milenial untuk selalu membawa diri supaya memiliki budaya membaca.
“Dalam konteks ini kita belajar jernih di untuk berpikir agar kita bisa memberikan sesuatu yang berharga,” katanya.
Haedar menjelaskan bahwa setiap tulisan dalam bukunya itu, meski ‘lepas’ satu sama lain, tapi itu merupakan buah dari orang berpikir dan harus berani mempertanggungjawabkan pemikirannya. Buku ini merupakan buah pikiran Haedar dalam membaca realitas, dan dituliskan secara sistematis.
Buku tersebut adalah kumpulan dari rubrik refleksi dan opini di Harian Republika tentang agama, demokrasi, dan politik. Kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan” yang diterbitkan Suara Muhammadiyah (SM) dan Republika. Buku ini merupakan kompilasi tulisannya yang di di rubrik “Refleksi” dan “Opini” di Harian Republika sejak tahun 1998 sampai dengan 2019.
Haedar memperkirakan dari tenggat waktu itu, kurang lebih sudah sebanyak 240 tulisan yang ia tulis. Haedar menyebutkan, persoalan agama menjadi wilayah yang paling tidak mudah untuk dibahas. Hal itu disebabkan karena dua unsur dalam agama, yaitu sakral dan profane.
“Di antara sakral dan profane itu seringkali tipis hubungannya karena ada perilaku orang beragama itu sendiri, yang dalam berperilaku termasuk berpikir dan bertindak itu tidak lepas dari pemahamannya,” ungkap Haedar. (Aza)