Indonesiainside.id, Jakarta – Menerapkan disiplin protokol kesehatan dinilai bisa menjadi bekal melawan varian baru Omicron dari Afrika Selatan.
Protokol kesehatan itu meliputi mengenakan masker doble atau ganda, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
“Itu bisa menjadi bekal berharga untuk melawan gempuran Omicron,” kata Epidemiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Ardyanto, Selasa (7/12).
Selain itu dengan melakukan dan mempercepat vaksinasi di seluruh penduduk.
Saat ini angka cakupan vaksinasi juga sudah di angka 36,37 persen dari seluruh penduduk yang mendapat dua dosis.
“Jika kecepatan pertambahan ini bertahan sampai akhir Desember, maka setidaknya 42 persen penduduk sudah mendapat dua kali dosis dengan targetnya minimal 40 persen di akhir 2021,” lanjut Tonang.
Dikatakannya, Varian Omicron dari Afrika Selatan diduga sudah masuk ke Indonesia dua pekan lalu. Baik yang terkena cenderung ringan, juga penyebarannya tidak leluasa karena sudah banyak yang memiliki antibodi.
Menurut laporan awal, lanjutnya, penyebarannya sudah sedemikian luas di berbagai negara. Akan tetapi, karena cenderung yang terkena hanya memiliki gejala ringan bahkan tanpa gejala, membuatnya tidak terdeteksi dan tidak terlaporkan.
Tonang menambahkan, memang tidak ada data akurat yang mendekati dugaan itu, karena jumlah tes yang dilakukan di Indonesia masih kurang.
“Tapi diestimasikan bahwa prevalensi antibodi—dari infeksi alami, vaksinasi maupun hybrid infeksi-vaksinasi—sudah relatif tinggi setelah melewati Juli kemarin,” ujarnya dalam pesan instan.
Saat ini, antibodi dari infeksi alami bulan Juli sudah menurun, namun paparan Omicron cenderung tidak menimbulkan gejala berat, laporannya gejala ringan, sehingga diharapkan memicu antibodi kembali meninggi.
“Dengan demikian, dugaan saya, Omicron sudah ada, sudah mulai menyebar di Indonesia,” katanya.
Dokter spesialis patologi klinis itu menjelaskan belum terdeteksinya Omicron karena sebagian besar kasus Omicron tanpa atau hanya gejala ringan. Juga, jumlah tes PCR di Indonesia masih di bawah ambang.
Memang rata-rata tes dilaporkan antara 180-200 ribu per hari, tapi yang banyak itu tes antigen, sekarang PCR tinggal sekitar 15 persen saja dari total tes. Rata-rata sekitar 30 ribu/hari, padahal minimal 39 ribu/hari.
“Itu minimal, juga dengan syarat merata. Sayangnya, 40-50 persen dari jumlah PCR itu di Jakarta saja. Sisanya dibagi 33 provinsi lainnya,” sambungnya.
Di sisi lain, dikatakannya, tes antigen memang bisa mendeteksi Omicron, karena targetnya protein N, bukan protein S. Namun, tes antigen itu baru positif bila viral load tinggi, jika sudah menurun, hanya dengan metode PCR yang tepat untuk mendeteksinya.
“Karena, meski antibodi sedang atau sudah mulai menurun, tapi yang pernah terinfeksi atau tervaksinasi itu masih memiliki sel memori,” lanjutnya.
Deteksi varian Omcron bisa juga dengan metode sequencing, hanya saja dilakukan jika ada indikasi awal. Pertama, jika didapatkan kasus dengan ct value rendah sekali yang berarti viral load tinggi.
“Perlu PCR untuk mendeteksi kasusnya dan bila terpaksa dengan antigen lebih dulu,” ungkapnya.
Kemudian pada tes yang memiliki target gen S (SGTF), PCR mendeteksi adanya 2 target gen lain, namun justru target gen S-nya negatif. Kondisi ini dicurigai kuat bahwa virusnya mengalami mutasi.
Di sisi lain, ada masalah dalam kit PCR di Tanah Air, yakni sebagian besar atau 85 persen lebih tidak menggunakan gen S sebagai target karena rentan bermutasi. Yang dideteksi adalah N, E, RdRp, Orf1b dan Helicase.
“Sehingga tidak mudah mendeteksi varian Omicron walau kemungkinan besar sudah ada di Indonesia,” katanya. (Nto)