Indonesiainside.id, Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengutuk keras perilaku asusila guru yang diduga melakukan pemerkosaan terhadap lebih dari 12 santriwati di bawah umur di Bandung, Jawa Barat. PKS meminta pelaku dihukum terberat dengan ancaman hukuman maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kecaman itu disampaikan anggota komisi VIII Fraksi PKS DPR RI Iskan Qolba Lubis dan anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI) Hidayat Nur Wahid secara terpisah. Keduanya sangat prihatin dengan kondisi para santriwati korban pemerkosaan.
“Perbuatan kejahatan seksual terhadap anak perempuan yang dilakukan oleh guru pesantren tersebut sangatlah keji, para korban santriwati itu dipaksa melakukan nafsu bejat oknum guru itu sampai berulang kali dengan imingan akan dibiayai kuliah sampai selesai,” ujar Iskan.
Legislator PKS asal Sibuhuan ini juga menambahkan guru pesantren tersebut harus ditindaklanjut hukum sesuai Undang-Undang yang berlaku tentang perlindungan anak. “Guru pesantren di daerah Bandung ini bisa terkena tindak pidana yang sudah ada, sebagai contoh pidana Pasal 81 Undang-Undang tentang perlindungan anak dengan ancaman 15 tahun atau bisa ditambahkan masa tahanan sampai 20 tahun karena kan beliau tenaga pendidik, agar hukuman tersebut bisa membuat dirinya efek yang jera terhadap perbuatannya sendiri dan saya ingin perbuatan keji ini tidak terjadi lagi di tempat yang lain,” tegas Iskan.
Iskan juga meminta pelaku kejahatan seksual ini agar cepat ditindak lanjuti dengan hukuman yang setimpal dan untuk para korban diberi pendampingan moral khususnya dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
“Saya juga meminta pemerintah harus hadir disini, harus ada kepastian agar para korban dipastikan mendapat pendampingan serta penyembuhan trauma pasca kejadian ini. Mereka semua itu masih dibawah umur dan tragisnya lagi diantara para korban ada yang sudah hamil bahkan melahirkan bayi dari perbuatan bejat si tersangka,” ujar Iskan.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mendesak guru tersebut dihukum berat. Menurut dia, kejahatan tersebut terkutuk, menabrak hukum negara dan hukum agama, sehingga sangat layak pelakunya dihukum dengan pemberatan apakah dengan hukum kebiri, atau hukuman pidana seumur hidup, bahkan hukuman pidana mati.
HNW, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman dengan pemberatan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
HNW menjelaskan selain mengatur hukuman kebiri, aturan tersebut juga memuat hukuman pidana seumur hidup dan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menunjuk Pasal 81 UU yang mengesahkan Perppu Kebiri tersebut. Ketentuan itu berbunyi, ‘Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, ganggungan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.’
Sedangkan Pasal 76D berbunyi, ‘Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.’
“Salah satu syarat untuk menjatuhkan hukuman maksimal sudah terpenuhi, karena korbannya adalah anak-anak dibawah umur yang diduga lebih dari satu, yakni ada 12 malah ada yang menyebutkan 21 santriwati,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta.
HNW mengatakan bahwa instrumen hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak sudah cukup memadai, sehingga tinggal keberanian nurani aparat penegak hukum untuk menegakkannya seadil-adilnya.
Selain itu, HNW juga mendukung Kementerian Agama (Kemenag) yang meninjau ulang izin operasional pesantren tersebut, bahkan hingga izinnya dicabut. Sekalipun disayangkan, keputusan itu baru diambil setelah kasusnya menjadi heboh di publik, dan korbannya berjatuhan sampai lebih dari 12 Santriwati. Padahal peristiwa kejahatan seksual yang melanggar hukum Negara, Agama dan Tradisi atau Marwah Pesantren itu sudah terjadi sejak tahun 2016.
“Ini harus diusut secara tuntas, mengapa bisa terjadi bukan sekali dua kali, tetapi terhadap lebih dari 12 korban. Dan dalam rentang waktu sampai 5 tahunan ? Seandainya sikap tegas Kemenag itu dilakukan sejak lebih awal, kemungkinan korbannya akan tak sebanyak yang sekarang ini,” ujarnya. (Aza/ pks.id)