Indonesiainside.id, Hanoi—Layanan Mass Rapit Transit (MRT) pertama Vietnam, yang diluncurkan pada 6 November lalu dikabarkan tidak mendapat sambutan baik. Masyarakat bahkan sempat memboikot karena pembangunannya dilakukan dengan kerja sama dengan China, lapor Hanoi Metro.
Namun, berbeda dengan suasana ramai selama uji coba gratis dua minggu layanan, media melaporkan kekurangan penumpang bulan lalu. Media lokal melaporkan, sejak bulan lalu, layanan tersebut mencatat tingkat penumpang rendah sekitar 12.000 per hari atau setara dengan 60 penumpang per perjalanan.
Hanya delapan persen penduduk Hanoi yang telah menggunakan layanan ini sejak pertama kali diluncurkan. Seperti diberitakan di hari-hari pertama penjualan tiket, jumlah penumpangnya sedikit, sekitar 12.000 per hari atau setara dengan 60 orang per perjalanan, hanya 8% dari kapasitas.
Rute 13 kilometer dengan 12 stasiun dari utara Hanoi ke selatan Ha Dong memakan waktu 24 menit untuk perjalanan dan mampu membawa satu juta penumpang per hari untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Situasi tersebut membuat pihak berwenang Hanoi kesal karena melihat bahwa proyek tersebut sudah memakan biaya besar, selain proyek pembangunannya yang tertunda berkali-kali sebelumnya.
Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah kota Hanoi, yang mengawasi proyek, terutama karena jalur kereta bawah tanah kontroversial, yang telah mengalami beberapa tahun penundaan dan peningkatan biaya, kutip media. Pada tahun 2008, proyek ini memiliki total investasi awal sebesar 552,8 juta USD. Pada tahun 2017, dengan menggunakan nilai tukar, angka ini meningkat menjadi sekitar 868 juta USD.
Sementara itu, layanan tersebut sempat diboikot oleh masyarakat negeri ini karena China merupakan kontributor utama pembangunannya. Kebanyakan orang berharap mega proyek berikutnya di dalam negeri tidak dilaksanakan dengan kerja sama China, melainkan memilih Jepang berdasarkan kemampuan teknologinya. (NE)