Indonesiainside.id, Manila – Sedikitnya 375 orang meninggal setelah badai dahsyat melanda Filipina pada Kamis (16/12). Jumlah ini melonjak dari sehari sebelumnya yang mencapai 200-an korban jiwa.
Konsul Jenderal RI di Davao, Dicky Fabrian, mengatakan “alhamdulillah tidak ada WNI yang menjadi korban”.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada Selasa (21/12) pagi, Dicky mengemukakan bahwa informasi tersebut dia terima dari para penghubung di sekitar Cebu dan Bohol–kawasan yang dilintasi Topan super Rai.
Jumlah WNI di wilayah tersebut, menurutnya, mencapai belasan orang–jauh lebih sedikit ketimbang 4.000-an WNI di kawasan selatan Filipina yang mencakup Mindanao, Sulu, dan Kepulauan Tawi-tawi.
Topan super Rai – dengan kecepatan angin sekitar 195km/jam – membuat sekitar 300.000 orang berlarian menyelamatkan diri ketika menghantam gugusan pulau di wilayah tenggara negara itu.
Sedikitnya 500 orang terluka dan 56 lainnya dilaporkan hilang, ungkap polisi setempat.
Namun demikian menentukan skala kerugian akibat badai ini tidaklah gampang, karena komunikasi ke sejumlah kawasan terdampak terputus.
Ada kekhawatiran tanah longsor yang meluas dan banjir kemungkinan telah merenggut lebih banyak nyawa.
“Banyak daerah tidak memiliki listrik, tidak ada komunikasi, sangat sedikit air,” kata ketua Palang Merah Filipina, Richard Gordon, kepada BBC.
“Ada beberapa daerah yang tampaknya seperti dijatuhi bom yang lebih buruk ketimbang Perang Dunia Kedua.”
Kendaraan melintasi tulisan cat di jalan raya yang isinya meminta bantuan yang dicat di sebuah kota di Pulau Siargao, provinsi Surigao del norte pada 19 Desember 2021, beberapa hari setelah Badai Super Rai menghancurkan pulau itu.
Federasi Internasional Palang Merah dan Perhimpunan Bulan Sabit Merah telah meluncurkan permohonan darurat guna mengumpulkan uang 20 juta franc Swiss guna mendanai upaya bantuan jangka panjang.
“Tim darurat Palang Merah melaporkan kematian massal di daerah pesisir,” kata Gordon. “Rumah, rumah sakit, sekolah dan bangunan masyarakat telah hancur berkeping-keping.”
Tim relawan berada di tempat kejadian tengah memberikan bantuan mendesak “untuk orang-orang yang telah kehilangan segalanya”, katanya.
Ribuan personel militer, penjaga pantai, dan pemadam kebakaran telah dikerahkan di beberapa kawasan yang terkena dampak paling parah di negara itu untuk membantu upaya pencarian dan penyelamatan.
Sementara itu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah melakukan inspeksi melalui udara di daerah-daerah yang dilanda badai.
Video yang diunggah di media sosial oleh para ajudannya memperlihatkan kerusakan parah di pulau Siargao, Dinagat, dan Mindanao.
Gubernur Kepulauan Dinagat, Arlene Bag-ao, mengatakan di Facebook bahwa wilayah itu telah “rata dengan tanah” akibat angin topan.
“Sawah ladang milik petani dan perahu-perahu nelayan kami telah hancur,” katanya dalam pesan yang dikutip oleh situs berita Rappler.
“[Kami] telah kehilangan rumah kami. Dinding dan atap rusak dan tertiup angin… Kami memiliki persediaan makanan dan air yang semakin menipis.”
Banyak orang yang kehilangan rumah akibat terjangan badai.
Dia mengatakan kerusakan itu “mengingatkan, jika tidak lebih buruk ketika topan Yolanda menghantam provinsi kami”.
Lebih dari 6.000 orang tewas ketika badai itu – juga dikenal sebagai Topan Haiyan – melanda negara itu pada 2013. Itu merupakan badai paling mematikan yang pernah tercatat di negara itu.
Rata-rata sekitar 20 badai dan angin topan menerjang Filipina setiap tahun.
Topan Super Rai ini merupakan yang paling kuat menghantam Filipina pada tahun ini, dan terjadi pada akhir musim topan di kawasan itu – dengan sebagian besar badai berkembang antara Juli dan Oktober.
Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa kenaikan suhu global, yang disebabkan oleh perubahan iklim akibat tindakan manusia, menyebabkan topan menjadi lebih kuat dan menguat lebih cepat.(BBC/Nto)