Masih tentang Umair bin Saad. Sang Gubernur Hims yang mengumpulkan pajak lalu habis dibagikan kepada penduduk yang berhak menerimanya. Karena dianggap jujur dan amanah oleh Khalifah Umar bin Khattab, dia pun ditawari jabatan gubernur dua periode.
Sesaat setelah Umair melaporkan kepemimpinannya sebagai gubernur, Khalifah Umar berkata kepada jurutulis, ”Perpanjang masa jabatan Umair sebagai Gubernur Hismh!”
Apa kata Umair? “Maaf, Khalifah! Saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat ini, saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk orang lain sesudah anda, ya Amirul Mu’minin.”
Kemudian Umair minta izin untuk pergi ke sebuah di pinggiran kota Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Khalifah mengizinkan.
Belum lama Umair tinggal di dusun tersebut, Umar ingin mengetahui keadaan sahabatnya itu, bagaimana kehidupannya dan apa yang diusahakannya. Lalu diperintahkannya Al Harits, seorang kepercayaan Khalifah, “Pergilah engkau menemui Umair, tinggallah di rumahnya selama tiga hari sebagai tamu. Bila engkau lihat keadaannya bahagia penuh nikmat, kembalilah sebagaimana engkau datang. Dan jika engkau lihat keadaannya melarat, berikan uang ini kepadanya!”
Khalifah Umar memberikan sebuah pundi berisi 100 dinar kepada Al Harits. Dia pun segera mendatangi rumah Umair. Dia sempat bertanya-tanya di mana rumah Umair.
Setelah bertemu, Al Harits mengucapkan salam, ”Assalamu’alaika wa rahmatullah.”
Jawab Umair, “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wa barakatuh. Anda datang dari mana?”
Jawab Harits, “Dari Madinah!”
Tanya Umair, “Bagaimana keadaan kaum muslimin sepeninggal anda?”
“Baik-baik saja.”
“Bagaimana kabar Amirul Mu’minin?”
“Alhamdulillah, baik.”
“Adakah ditegakkannya hukum?”
“Tentu, malahan baru-baru ini dia menghukum dera anaknya sendiri sampai mati, karena bersalah melakukan perbuatan keji.”
Kata Umair, “Wahai Allah, tolonglah Umar. Saya tahu sungguh, dia sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”
Al Harits menjadi tamu Umair selama tiga malam. Tiap malam Harits hanya dijamu dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga, seorang laki-laki kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda telah menyusahkan Umair dan keluarganya. Mereka tidak punya apa-apa selain roti yang disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih mementingkan Anda, walaupun dia sekeluarga harus menahan lapar. Jika Anda tidak keberatan, sebaiknyalah Anda pindah ke rumah saya menjadi tamu saya.”
Tak lama kemudian, Harits mengeluarkan pundi-pundi uang dinar, lalu diberikannya kepada Umair.
Tanya Umair, “Apa ini?”
Jawab Harits, ”Amirul Mu’minin mengirimkannya untuk Anda!”
Kata Umair, “Kembalikan saja uang itu kepada beliau. Sampaikan salamku, dan katakan kepada beliau bahwasanya aku tidak membutuhkan uang itu.”
Isteri Umair yang mendengar percakapan suaminya dengan Harits berteriak, “Terima saja, hai Umair! Jika engkau butuh sesuatu engkau dapat membelanjakannya.
Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Di sini banyak orang-orang yang butuh.”
Mendengar ucapan isteri Umair, Harits meletakkan uang itu di hadapan Umair, kemudian dia pergi.
Umair memungut uang itu lalu dimasukkannya ke dalam beberapa pundi-pundi kecil. Dia tidak tidur sampai tengah malam sebelum uang itu habis dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Sangat diutamakannya memberikan kepada ank-anak yatim yang orang tuanya tewas sebagai syuhada di medan perang fi sabilillah.
Al Harits kembali ke Madinah. Setibanya di Madinah, Khalifah Umar bertanya, “Bagaimana keadaan Umair?”
Jawab Harits, “Sangat menyedihkan, ya Amirul Mu’minin.”
Tanya Khalifah, “Sudah engkau berikan uang itu kepadanya?”
Jawab, “Ya, sudah ku berikan.”
Tanya, “Apa yang dibuatnya dengan uang itu?” Jawabnya, “Saya tidak tahu. Tetapi saya kira, uang itu mungkin hanya tinggal satu dirham saja lagi untuknya.”
Khalifah Umar menulis surat kepada ‘Umair, katanya, “Bila surat ini selesai Anda baca, maka janganlah Anda letakkan sebelum datang menghadap saya.” Umair bin Saad datang ke Madinah memenuhi panggilan khalifah. Sampai di sana, dia menghadap Amirul Mu’minin.
Khalifah Umar mengucapkan selamat datang dan memberikan alas duduk yang dipakainya kepada Umair, sebagai penghormatan.
Tanya khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu, hai Umair?”
Jawab Umair, “Apa maksud Anda menanyakan, sesudah uang itu Anda berikan kepadaku?” Jawab khalifah, “Saya hanya ingin tahu, barangkali Anda mau menceritakannya.”
Jawab Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya sendiri, dan akan saya manfa’atkan nanti pada suatu hari, ketika harta dan anak-anak tidak bermanfa’at lagi, yaitu hari kiamat.”
Mendengar jawaban Umair, Khalifah Umar menangis sehingga air matanya jatuh bercucuran. Katanya, “Saya menjadi saksi, bahwa sesungguhnya Anda tergolong orang-orang yang mementingkan orang-orang lain sekalipun diri Anda sendiri melarat.”
Kemudian khalifah menyuruh seseorang mengambil satu wasq (Satu Wasq, kira-kira enam puluh sha’ (gantang), atau kira-kiia seberat beban seekor unta) pangan dan dua helai pakaian, lalu diberikan-nya kepada Umair.
Kata Umair, “Kami tidak membutuhkan makanan, ya Amirul Mu’minin. Saya ada meninggalkan dua sha’ gandum untuk keluarga saya. Mudah-mudahan itu cukup untuk makan kami sampai Allah Ta’ala memberi lagi rezki untuk kami. Tetapi pakaian ini saya terima untuk isteri saya, karena pakaiannya sudah terlalu usang, sehingga dia hampir telanjang.”
Tidak lama sesudah pertemuan ‘Umair dengan khalifah, maka Allah memanggil pulang Umair ke Rahmatullah. Umair mempertaruhkan jiwa raganya dengan langkah tepat. Dia tidak membawa beban berat di punggung, berupa kemewahan dunia. Dia pergi dengan cahaya Allah yang selalu membimbingnya, wara’ dan taqwa. (Aza)
Sumber: Kitab Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya/Ahlul Hadist WordPress