Sepanjang tahun 2021, keriuhan dibalik penegakan hukum cukup menarik perhatian publik. Terkhusus penegakan hukum dalam ranah konstitusi, di mana kembali mempertegas bahwa Indonesia sebagai negara hukum moderen yang demokratis dan sekaligus merupakan negara demokrasi konstitusionalisme.
Dalam konteks inilah, konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Secara mutatis mutandis berbicara soal penegakan hukum, maka sudah barang tentu kita berbicara mengenai banyak hal menyangkut aspek hukum itu sendiri dari berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal yang tak mungkin mengelaborasi penegakan hukum yang meliputi seluruh bidang kehidupan dalam suatu tulisan singkat ini sebagai refleksi akhir tahun. Untuk itu, paling tidak membatasi pada tiga isu utama.
Taat dan Tertib Konstitusi
Pertama, penegakan hukum dengan merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tertanggal 25 November 2021 Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dimana merupakan ranah konstitusi negara yang memperteguh dan memperkokoh eksistensi negara bahwa Indonesia bukan negara kekuasaan, tetapi negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law). Sebagai negara hukum kekuasaan negara itu haruslah memiliki legitimasi hukum atau diatur secara hukum (konstitusi).
Esensi dari putusan a quo dengan kerangka dasar rule of law ini ialah bahwa kekuasaan negara itu harus bermakna melindungi, perlakuan yang sama (equal protection), serta mengembangkan kebenaran hukum (legal truth) bukan unjuk “kekuasaan”. Sebab kekuasaan negara itu memberi keadilan hukum (legal justice). Bukan kesemerawutan atau kekacauan hirarkis perundang-undangan sebagai wujud ketidaktertiban berkonstitusi.
Selain itu, yang perlu pula dicatat dalam kaitan penegakan hukum bahwa untuk pertama kali dalam sejarah permohonan uji formil dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi dengan putusan dissenting opinion. Putusan MK kali ini memberi pula konfirmasi yang sangat jelas kepada publik bahwa semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law), punya akses dan hak yang sama kepada layanan hukum, tanpa diskriminasi atas alasan dan dasar apapun.
Bagaimanapun, tak dapat dipungkiri kalau putusan MK ini memberikan pemihakan (interest) terhadap kelompok rakyat kecil, bukan kepada pemodal (oligarki). Atas dasar itulah, semua warga negara juga tanpa diskriminasi (pengecualian) berkewajiban menjunjung tinggi dan mentaati semua peraturan hukum dengan sepenuhnya. Dalam artian, semua pihak haruslah taat konstitusi untuk melaksanakan isi putusan sebagai bentuk sikap kesatria terhadap konstitusi.
Kedua, memasuki tahun politik jelang Pemilu 2024, pihak-pihak yang berkepentingan mulai menunjukkan kegalauan. Sejumlah ketentuan yang menghalangi tercapainya hasrat politik pribadi atau kelompok kembali mencuat kepermukaan (dipersoalkan). Pemantik masalahnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang tak akan direvisi mulai menuai gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Tampaknya masalah ini, terus akan menjadi perdebatan panjang dengan segala hiruk- pikuknya. Tidaklah dapat dinafikan, munculnya figur-figur calon di Pilpres 2024 berdampak dengan adanya ambang batas pencalonan presiden dengan syarat kepemilikan minimal 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) atau perolehan paling sedikit 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Pembatasan ambang batas itulah yang dianggap in-konstitusional oleh mereka yang menghendaki penghapusan syarat presiden thereshold. Rumusan Pasal 22 E UUD 1945 dengan sangat jelas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu dilaksanksn untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Terkait tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politikpeserta pemilihan umum.
Berkaca pada Pilpres 2014 dan 2019 , memang disayangkan karena terkesan sangat monoton dengan menampilkan figur kandidat yang sama. Akibatnya, rakyat tidak meiliki pilihan alternatif terhadap calon yang ditawarkan ke publik. Karena itulah, mestinya yang harus di dorong adalah proses seleksi capres dan cawapres di internal parpol. Proses “demokrasi internal” partai harus di dorong agar proses perekrutan capres akuntabel dan prosesnya berjalan secara transparan. Hemat kami, demokrasi internal di partai diperlukan untuk merekrut capres atau cawapres.
Model konvensi partai dari tingkat bawah seharusnya bisa dilakukan agar capres dan cawapres semakiin dikenal ditingkat bawah (visi dan misinya). Dan sebaliknya, problem rill dilevel bawah yakni masyarakat juga semakin dipahami. Itulah sesungguhnya hakekat daripada pemilihan langsung, calon capres dan cawapres berinteraksi langsung dengan rakyat (pemilih).
Hal itu, sejalan argumentasi hukum Saldi Isra dengan dissenting opinion hakim konstitusi ini dalam putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tanggal 11 Januari 2018 menyatakan : rezim ambang batas pencalonan presiden mengakibatkan masyarakat tidak memiliki kesempatan luasa untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan parpol. Dengan membuka kesempatan kepada semua parpol peserta pemilu mengajukan pasangan capres-cawapres , masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bangsa. Selain itu, masyarakat juga disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran eksekutif.
Tampaknya, motivasi semangat taat konstitusi itu, yang membuat mereka berlomba-lomba dalam kebajikan bernegara. Hingga Selasa (14/12/2021), permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presdiden terus mengalir tak terbendung. Terakhir pada tanggal 13 Desember 2021, giliran mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menggugat pasal yang sama (vide Pasal 222 UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum). Meskipun tak menafikan, kalau permohonan ambang batas ini sudah berulangkali dilakukan. Akan tetapi, demi memurnikan melaksanakan UUD NRI 1945 maka kepentingan politik golongan perlu “disingkirkan” jauh-jauh dari pembahasan ambang batas ini. Singkat kata, marilah mendesai sistem pemilu dengan baik sebagai salah satu pilar demokrasi, sehingga ke depan lebih akuntabel dan berintegritas.
Ketiga, berkaitan soal ketatanegaraan yang bersangkutpaut mengenai Amandemen ke-5 UUD NRI 1945. Isu Amandemen Undang-undang Dasar (UUD NRI) 1945 kembali mengemuka setelah penyelenggaraan negara memasuki 23 tahun reformasi. Menurut ketua MPR RI priode sekarang Bambang Soesatyo : bahwa pilihan atas amandemen harus mengutamakan rasionalitas serta kepentingan bangsa dan negara. MPR akan memperhatikan semua aspirasi yang berkembang di masyarakat dan juga usulan Parpol, MPR tidak akan gegabah.
Sekedar mengingatkan, empat kali amandemene UUD NRI 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, 2000, 2001, hingga 2002. UUD NRI 1945 telah mengalami perubahan mendasar. Kini, Indonesia telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, mulai dari pemisahan kekuasaan dan check balances sampai lahirnya lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Harus diakui, hasil perubahan UUD 1945 sudah jauh lebih baik oleh karenanya harus dilaksanakan sebagai konstitusi yang sah. Lalu kemudian, jika akhir-akhir ini ada keinginan melaksanakan amandemen lanjutan (ke lima) itu adalah sah-sah saja, sepanjang merupakan suatu kebutuhan mendasar dan gagasan amandemen itu benar-benar dikehendaki oleh masyarakat Indonesia. (Aza/Bersambung)