Indonesiainside.id, Yogyakarta – Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal kembali menyuarakan urgensi perubahan paradigma pendidikan. Di hadapan 218 peserta yang terdiri dari kepala sekolah SMK, kepala dinas pendidikan beserta birokratnya, Nur Rizal menyampaikan tentang pentingnya perubahan paradigma pendidikan pada guru agar lebih mengedepankan pengembangan diri siswa secara utuh.
Hal ini diperlukan agar generasi kita tidak menjadi generasi yang irrelevan di tengah perubahan dunia kerja yang akibat disrupsi teknologi.
Menurut Nur Rizal, generasi yang irrelevan dimaknai sebagai generasi yang tidak memiliki kompetensi dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja di masa mendatang. Hal ini disebabkan oleh perkembangan pesat kemampuan kecerdasan buatan untuk menggantikan pekerjaan high labor skill.
“Kecerdasan buatan diprediksi mampu meretas otak manusia dalam bekerja dengan kemampuan algoritma komputasinya yang semakin tinggi. Hal ini dapat berpotensi untuk menggantikan segala jenis keterampilan yang dimiliki oleh manusia.” ujar Nur Rizal dalam acara Rapat Kerja Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMK DIY, Selasa (11/1)
Fenomena ini sejalan dengan data dari McKenzie Global Institute yang mengemukakan bahwa biaya dalam menggunakan kecerdasan buatan turun hingga mencapai 65% sedangkan biaya penggunaan tenaga manusia justru naik dari 2% hingga 15%. Potret ini menggambarkan penggunaan kecerdasan buatan yang jauh lebih efisien daripada penggunaan tenaga manusia.
Nur Rizal menekankan, apabila tidak ada pergeseran paradigma pendidikan untuk menyediakan sumber daya manusia yang relevan, hal ini berpotensi pada meningkatnya angka pengangguran di berbagai sektor bahkan yang membutuhkan high labor skill sebab biayanya dengan kecerdasan buatan yang jauh lebih murah.
Data yang lain juga menunjukkan bahwa disrupsi teknologi mengakibatkan 45% hingga 47% tenaga kerja membutuhkan upskilling dan reskilling agar relevan dengan dunia kerja yang baru. Padahal, komputasi kecerdasan buatan akan jauh lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan upskilling dan reskilling ini daripada mengubah kemampuan manusia itu sendiri.
Perubahan yang cepat ini dianalogikan oleh Nur Rizal seperti hilangnya pekerjaan seperti di pabrik, sebagai customer service dan di teller bank di masa mendatang karena sudah digantikan oleh kecerdasan buatan. Dalam 10 – 20 tahun lagi, manusia didorong untuk menguasai programming atau desain visual yang notabene merupakan keterampilan baru dan membutuhkan usaha keras untuk menguasainya.
Namun, meskipun setelah menguasainya, bisa jadi dalam 10 tahun ke depan lagi keterampilan itu sudah tidak dibutuhkan karena kecerdasan buatan yang lebih canggih akan menggantikan peran tersebut. Inilah yang dimaksud sebagai sekolah saat ini mengajarkan sesuatu yang sebetulnya irrelevan dengan kebutuhan dunia kerja yang berganti dengan sangat cepat.
“Fenomena-fenomena ini harus menjadi peringatan bagi seluruh stakeholder pendidikan untuk merevolusi cara mengajar dan cara belajar siswanya untuk menghasilkan SDM yang kompetitif di masa depan agar tidak tergantikan oleh kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan bioteknologi.” ungkap Nur Rizal.
Nur Rizal menyampaikan bahwa Yuval Noah Harari di bukunya “21 Lesson for the 21st Century”, perlu penekanan baru bagi dunia pendidikan untuk menghadapi permasalahan ini. Dunia pendidikan sudah seharusnya untuk lebih berorientasi pada pengembangan kesadaran diri agar setiap siswa mampu mengelola kondisi emosi sekaligus meningkatkan keterampilan sosialnya. Hal ini diperlukan agar siswa memiliki keseimbangan mental untuk menghadapi perubahan dunia yang sangat cepat, atau tekanan kebutuhan kerja yang berubah dengan sangat cepat.
Oleh karena itu, di setiap workshop GSM, topik-topik pedagogi seperti Self-Regulated Learning dan Social Emotional Learning menjadi pelatihan yang utama. Pedagogi inilah yang mampu membangun kemampuan siswa untuk belajar secara mandiri, mengeksplorasi berbagai macam pengetahuan dan perspektif, sekaligus mengolah informasi menjadi nilai tambah, tidak hanya menjadi pengepul informasi. Dengan SRL dan SEL, siswa akan punya kesadaran untuk belajar terus menerus agar pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya relevan dengan kebutuhan dan tantangan ke depan.
Selain itu, penekanan untuk membangun penalaran dan metakognisi siswa sehingga mereka bisa bereksplorasi sekaligus mengolah informasi dengan ilmiah menjadi penekanan setiap workshop GSM. Kemampuan ini dipercaya jauh lebih dibutuhkan daripada sekedar menguasai konten pengetahuan. Untuk itu, guru-guru didorong lebih mengajarkan tentang kemampuan berfikir generalis, yaitu menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain. Sebab, persoalan tidak bisa hanya dikerjakan oleh satu disiplin ilmu. Maka, spesialisasi perlu untuk dipertimbangkan kembali oleh sekolah sebagai fokus utama.
“Relevansi kompetensi dengan kebutuhan dunia kerja sangat diperlukan agar siswa bisa memanfaatkan pengetahuan atau ketrampilannya untuk menjadi problem solver atas berbagai persoalan yang muncul dengan tiba-tiba dan mungkin belum pernah ada sebelumnya. Kesadaran atas penalaran ini akan membangun kesadaran batin sehingga siswa akan merasa bermakna dalam mengarungi hidup.” ungkap Nur Rizal yang juga mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM ini.
Pendiri GSM ini juga menekankan, “kebermaknaan inilah yang sebenarnya harus menjadi tujuan utama bagaimana dunia pendidikan harus diarahkan dan dijalankan. Sebab, mendapatkan kebermaknaan hidup merupakan PR besar yang akan dialami generasi mendatang yang berakibat menjadi generasi yang irrelevan.”
Menanggapi permasalahan ini, sekolah harus bertransformasi lebih adaptif dan fleksibel terhadap hal-hal baru. Nur Rizal mengajak para peserta Raker MKKS ini untuk menjadikan ekosistem sekolahnya seperti tenda yang mudah dilipat dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain ketika terjadi bencana atau tsunami. Bukan seperti gedung dengan fondasi yang sangat kuat dan kaku. Untuk itulah peran GSM dibutuhkan untuk menjadi wadah bagi kepala sekolah yang ingin bertransformasi mengubah mindset dan perilaku di dalam mengelola sekolah agar lebih adaptif dan relevan dengan kebutuhan masa depan.
Nur Rizal berharap bahwa komunitas GSM ini akan tumbuh dan berkembang secara organik mewadahi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan secara operasional oleh kepala sekolah di dalam bertransformasi. Sehingga, perubahan paradigma ini bukan karena adanya kebijakan baru dari atas, tetapi karena kesadaran diri yang berasal dari diri kepala sekolah atau guru-guru di Indonesia.
“Itulah yang disebut dengan makna merdeka belajar yang sesungguhnya,” pungkasnya. (Nto)