Islam tidak melarang perempuan untuk berkarier di luar rumah atau di ruang publik. Namun, ada batasan-batasannya yang harus ditaati.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, pembolehan ini tidak bersifat liberal absolut, tanpa batas yang lepas dari esensi agama. Dalam kitab ‘Fatawa alMar’ah al-Muslimah’, Yusuf al-Qardhawi menjelaskan salah satu persoalan pelik perempuan, yaitu perempuan karir.
Ada tiga syarat yang harus dijaga dan dipegang bagi setiap muslimah dalam menjalankan kariernya, agar tidak terperosok dalam kebatilan yang dilarang dalam agama.
1. Profesinya diperbolehkan agama
Profesi yang dijalankan seorang perempuan tidak dilarang agama. Profesi dimaksud tidak mendorong orang menuju perbuatan haram, seperti melayani laki-laki yang belum menikah, menjadi sekretaris pribadi bagi seorang direktur yang mengharuskan dirinya berdua-duaan dengannya, dan lain-lain.
2. Menjaga Etika
Setiap profesi ada etikanya. Namun khusus bagi perempuan, ada etika yang sangat prinsipil dan harus dipegang agar tidak menjerumuskan diri atau orang lain. Perempuan profesional dalam Islam wajib menjaga etika agama, baik dalam pakaian, berjalan, berbicara, menjaga pandangan, dan aktivitas yang lain.
3. Tidak Meninggalkan Kewajiban
Seorang muslimah dalam berkarier, tidak boleh meninggalkan kewajiban lain, seperti kepada suami dan anak-anak yang merupakan kewajibannya pertama dan mendasar (al-Qardhawi, 1996, h. 101-107).
Dalam kitabnya yang lain ‘Markaz al-Mar’ah fi al-Hayah al-Islamiyyah’, alQardhawi (2007. h.1) meneguhkan pandangan ini. Menurut dia, profesi perempuan sebagai direktur, dekan fakultas, ketua yayasan, anggota DPR, menteri, dan lain-lain tidak ada masalah jika mengandung maslahat.
Hal ini dipertegas dalam kitabnya yang lain ‘Fatawa Mu’ashirah’, bahwa tidak ada alasan melarang perempuan berkarir di luar rumah, karena tugas amar ma’ruf nahyi munkar dan berijtihad adalah medan yang terbuka bagi laki-laki dan perempuan.
Dalil, baik al-Qur’an maupun hadis, atau kaidah ulama yang melarang perempuan berkarir di luar rumah tidak pasti (dzanni), sedangkan sejarah membuktikan bahwa Aisyah, istri Nabi adalah sosok aktivis yang getol memperjuangkan kebenaran, mujtahid yang disegani, dan berpartisipasi aktif dalam medan politik, seperti berperang dalam momentum perang jamal (Al-Qordhawi, 1993, h. 372-389).
Produk-produk pemikiran alQardhawi ini memang unik, inspiratif, danmoderat. (Aza)
Sumber: media.neliti.com