Ujaran kebencian sudah ada sejak masa Rasulullah SAW. Sebagaimana dikisahkan dalam buku-buku sejarah, tak hanya ujaran kebencian yang merajalela di zaman tersebut. Perilaku kasar hingga penganiayaan dan kezaliman juga terjadi.
Ujaran kebencian terhadap Islam dan terkait dengan Rasulullah SAW, memang lebih banyak datangnya dari kaum munafik. Mereka adalah musuh Islam dari dalam. Di hadapan Nabi, mereka berperilaku seperti seorang muslim. Namun di belakang, mereka malah menjelek-jelekkan Islam. Karena itulah kaum munafik diganjar tempat terburuk d akhirat kelak.
Ujaran kebencian terhadap ajaran-ajaran Islam hari ini juga demikian. Banyak kita dengar dari kalangan yang mengaku beragama Islam juga. Bahkan, ikut mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, hingga menafsirkannya dengan caranya sendiri. Di bagian lain, kita dengar cukup banyak juga perdebatan yang berujung caci makian atau ujaran kebencian, hanya karena perbedaan pandangan, beda mazhab, beda golongan, atau beda ormas.
Atas fenomena tersebut, ada baiknya kita menyimak kisah sahabat Rasulullah SAW, Umair bin Saad. Selain dikenal sebagai gubernur zuhud di masa Khalifah Umar bin Khatthab, Umair juga terkenal dengan ketinggian akhlaknya di sisi Rasulullah SAW. Sejak setelah berbait dan memeluk Islam, Umair adalah ahli ibadah yang dikenal tidak pernah lepas dari mihrab masjid.
Susah menemukan Umair selain di saf terdepan setiap shalat berjamaah di masjid. Sama halnya di medan perang, dia selalu terdepan demi mencari kemuliaan dan keutamaan. Umair sudah bertekad untuk meninggalkan segala kemewahan demi mencari naungan sakinah dan ketenangan di bawah cahaya kebenaran.
Dalam kesendirianya, air matanya selalu meleleh. Ia menangisi dosa-dosanya tatkala mengingat-ingat kesalahan yang telal lalu. Para sahabat juga menaruh rasa kasih dan sayang kepada Umair atas kebersihan hatinya, kekuatan imannya, ketenangan jalan hidupnya, keharuman akhlaknya, dan kecemerlangan penampilannya. Semua orang yang kenal dan dekat dengannya, ikut merasakan ketenangan, kegembiraan, dan rasa senang oleh kebaikan-kebaikan Umair.
Suatu hari, Umair mendengarkan Jullas bin Suwaid bin Shamit, yang masih kerabatya, merumpi di rumahnya. Ia mendengar Jullas berkata: “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita-kita ini lebih jelek dari keledai.” Laki-laki yang dimaksud Jullas dalam ‘gosip’nya itu adalah Rasulullah SAW. Padahal Jullas saat itu sudah memeluk Islam, meski saat itu diceritakan bahwa ia masuk Islam karena ikut-ikutan saja.
Satu pelajaran penting bagi kita, dalam berislam janganlah karena dasar ikut-ikutan saja, atau hanya karena kita terlahir dalam lingkungan keluarga Muslim. Karena berislam dengan setengah-setengah inilah yang berpotensi merusak, bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga terhadap Islam, sebagaimana kisah Jullas yang meragukan kebenaran yang dibawa Rasulullah SAW. Ujaran ini bisa dianggap ujaran kebencian, penghinaan kepada Rasulullah SAW, atau sikap meremehkan datangnya kebenaran Islam.
Dalam kisahnya, Umair mendengarkan perbincangan Jullas tersebut. Muncullah kemarahan Umair atas gosip yang menyakitkan itu. Namun, kebingungannya tak membuatnya kalap karena kebeningan hati dan kebersihan jiwanya. Marah karena Islam dicaci, tetapi hatinya tetap dingin karena kekuatan iman dalam jiwanya. Beginilah sikap seorang muslim setiap kali mendengarkan cacian tergadap agama. Boleh saja marah, namun tindakannya tetap terarah, terukur, dan tidak menyakiti dan tidak membalas dengan cara buruk.
Umair wajar saja marah. Ia tak ingin Islam dicaci tetapi kenyataan pahit itu malah didengarkannya dari seorang yang telah memeluk Islam. Jiwanya berkecamuk, dalam pikirannya berkobar kemarahan besar. Ia bermaksud akan melaporkan langsung kejadian itu kepada Rasulullah SAW, namun ia terhenti. Jiwanya yang tulus menunjukinya jalan keluar. Seketika ia berubah menjadi seorang muslim yang kuat, lelaki perkasa, dan pemberani. Tetapi dalam perlindungan taqwa.
Ia mendatangi Jullas dan mengonfirmasi mengenai ujaran kebencian yang ia dengarkan itu.
“Demi Allah, hai Jullas! Engkau adalah orang yang paling kucintai dan paling banyak berjasa kepadaku, dan yang paling tidak kusukai (engkau) ditimpa suatu yang tidak menyenangkan. Sungguh engkau telah melontarkan sesuatu ucapan, seandainya ucapan itu kusebarkan dan sumbernya adalah engkau, niscaya akan menyakitkan hatimu. Tetapi andaikan ucapanmu aku biarkan tentu agamaku akan binasa. Padahal hak agama lebih utama ditunaikan. Karena itu, akan aku sampaikan kepada Rasulullah SAW.”
Demikian Umair mengoreksi dan menyadarkan pelaku ujaran kebencian di masanya itu, sekaligus memberinya kesempatan untuk bertaubat. Catat, Umair ingin dia bertobat kepdada Allah SWT, bukan memaksa untuk meminta maaf. Seandainya Jullas mau bertobat, itu sudah cukup dan tak perlu menyampaikan kabar tersebut kepada Rasulullah SAW.
Namun, Jullas enggan. Ia tetap sombong, tak merasa bersalah, dan tak punya perasaan sama sakali untuk bertobat. Maka Umair pun menyampaikan kabar tersebut kepada Rasulullah SAW. Setelah dipanggil menghadap Rasulullah, Jullas malah berbohong dan mengangkat sumpa palsu. Dalam satu kasus, empat sifat buruk sekaligus, yakni ujaran kebencian, sombong, berbohong, dan bersumpah palsu. Tetapi, ayat Al-Qur’an telah datang memisahkan antara hak dan kebatilan.
يَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ مَا قَالُوْا ۗوَلَقَدْ قَالُوْا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوْا بَعْدَ اِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوْا بِمَا لَمْ يَنَالُوْاۚ وَمَا نَقَمُوْٓا اِلَّآ اَنْ اَغْنٰىهُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ مِنْ فَضْلِهٖ ۚفَاِنْ يَّتُوْبُوْا يَكُ خَيْرًا لَّهُمْ ۚوَاِنْ يَّتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ عَذَابًا اَلِيْمًا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚوَمَا لَهُمْ فِى الْاَرْضِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ – ٧٤
“Mereka (orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Muhammad). Sungguh, mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), sekiranya Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi. (QS At-Taubah: 74)
Sabab Nuzul ayat ini, dalam Tafsir Kemenag: Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dan ath-Thabrani dan Abu Syaikh Ibnu Mardawaihi, ketika Rasulullah sedang duduk di bawah naungan sebuah pohon beliau berkata, “Akan datang kepadamu seorang manusia yang memandang kamu dengan dua matanya seperti mata setan. Apabila ia datang, janganlah kamu berkata-kata.”
Kemudian tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang warna matanya biru langit lalu Rasulullah memanggilnya dan berkata, “Atas dasar apa engkau dan sahabat-sahabatmu memaki aku?” Lalu laki-laki itu pergi kemudian datang kembali membawa sahabat-sahabatnya, seraya bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak sekali-kali mengucapkan apa yang ditanyakan oleh Nabi; maka Nabi memaafkan mereka kemudian turunlah ayat ini.
Orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah untuk meyakinkan orang-orang mukmin dan Nabi Muhammad, bahwa apa yang dilaporkan kepada Nabi tentang tipu-muslihat ”yang merendahkan martabat Nabi Muhammad saw, atau mengurangi kemahasucian Allah swt” yang mereka ucapkan tidaklah benar dan merupakan fitnah belaka. Mereka tidak mengaku telah mengucapkan kata-kata kufur terhadap Nabi Muhammad.
Lanjut kisahnya, Jullas akhirnya bertobat dengan turunnya ayat ini. Karenanya, tindakan Umair menjadi buah kebaikan terhadap Jullas yang bertobat, memohon ampunan, dan selanjutnya Jullas menjadi seorang muslim sejati.
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam kisah Umair dan Jullas ini. Dua sosok yang menggambarkan betapa baik dan damainya Islam, dan sebaliknya betapa buruknya sifat kemunafikan itu. Namun, Islam memberikan jalan bagi mereka yang munafik untuk memperbaiki diri, dan memantapkan Islam dalam qalbunya sebagai pengikut sejati Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.
Dinukil dari Kitab Rajul Haula Rasul karya Kholid Muhammad Kholid, atau Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah SAW dalam versi bahasa Indonesia, terbitan CV Diponegero Bandung. (Aza)