Indonesiainside.id, Balikpapan – Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menyampaikan bahwa kepengurusan di tingkatan Syuriyah PBNU selama ini mengalami penurunan atau terjadi degrasi di mana kewenangan Syuriyah sebagai lembaga tertinggi dan penentu kebijakan semakin terkikis.
“Institusi Syuriyah sebaga lembaga tertinggi NU mendapatkan berbagai tantangan. Seharusnya menjadi institusi tertinggi, sebagai lembaga pemegang otoritas dan kontrol tertinggi, dan sebagai penentu kebijakan mengalami degradasi dan penurunan peran dalam struktur dan kultur NU. Institusi Syuriyah harus tetap sebagai lembaga tertinggi dan penentu kebijakan,” katanya saat menyampaikan sambutan pada acara pengukuhan pengurus PBNU masa khidmah 2022-2027 di Balikpapan, dipantau dari siaran langsung lewat Kanal Youtube TV9 Official, Senin (31/1/22).
Oleh karena itu, kata dia, menurunnya peran-peran institusi Syuriyah harus dikembalikan pada fungsi-fungsi sebagaimana mestinya. Ini yang dia maksudkan dengan supremasi Syuriyah. Institusi Syuriyah adalah intitusi NU yang sakral. Kewibawaan para masyayikh sebagai pemegang otoritas tertinggi NU harus tetap dijaga kemurniannya.
“Syuriyah merupakan institusi tertinggi dalam organsisasi NU. Syuriyah mempunyai wewenang yang sangat besar, tak saja sebagai pembina, pengawas, pelaksana keputusan-keputusan organisasi. Bisa dilihat di AD/ART di Bab 8 Pasal 18, bisa juga disimpulkan sebagai penentu kebijakan. Dan sturktur organisasi Nahdlatul Ulama, memiliki posisi penting dan penentu arah perjalanan dan khidmat jam’iah,” katanya.
Diketahui, dalam struktur kepengurusan NU, Syuriyah adalah pimpinan tertinggi dan Tanfidziyah adalah pelaksana. Pimpinan Syuriyah NU dipegang KH Miftachul Akhyar selaku Rais Aam PBNU dan pimpinan Tanfidziyah dipegang KH Yahya Cholil Staquf selaku ketua Umum PBNU.
Menurut KH Miftachul Akhyar, pengurus Syuriyah NU selaku pimpinan tertinggi, pembina, pengawas, dan penentu kebijakan NU, harus ditingkatkan. Dia mengingatkan kembali bahwa Muktamar NU di Situbondo beberapa tahun silam, masih eksis dengan pokok pemikiran dengan pemulihan khittah NU tahun 1926.
“Untuk mewujudkan fungsi dan peran itu, maka para funsgionaris Syuriyah dituntut mengaktulisasikannya untuk jam’iyah Nahdlatul Ulama,” katanya. Dengan keberdayaan syuriyah, kata dia, maka akan lahir calon pemimpin harapan Nahdlatul Ulama.
Di samping itu, dia menekankan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh warga dan pengurus PBNU. Ketiganya adalah tanggung jawab pada diri masing-masing, tanggung jawab kepada ummat, dan tanggung jawab kepada Allah SWT.
“Tinggal tiga hal yang perlu diderhatikan. Pertama, tanggung jawab masing-masing dirinya, apa yang dilakukan dan yang diucapkan, semuanya harus dipertanggungjawabkan,” katanya pada acara pengukuhan pengurus PBNU masa khidmah 2022-2027 di Balikpapan, dipantau dari siaran langsung lewat Kanal Youtube TV9 Official, Senin (31/1/22).
Kedua, KH Miftachul Akhyar, ada tanggung jawab dari setiap pengurus PBNU di hadapan ummat sebagai pelayan ummat, apa yang telah dilakukan dengan mereka. Ketiga dan ini yang terpenting, adalah tanggung jawab di hadapan Allah SWT atas semua yang dilakukan.
Di ujung kata sambuatannya pada acara pengukuhan tersebut, KH Miftachul Akhyar mengatakan, percontohan bagi seorang yang alim, misalnya pengurus PBNU, bagai mata air yang memberikan aliran air penyegar bagi negaranya, menyuburkan di sekitarnya, dan memberikan penyegaran kepada mereka yang lewat dan melalui mata air itu.
“Bukan untuk diri dan golongan tetapi semua bangsa. Itulah tugas ulama yang sebenarnya. Semoga Allah memberikan maunah dan kekuatan sehingga masa khidmat ini bisa berjalan baik dan dapat ridha Allah SWT,” katanya.
Kegiatan yang bertepatan dengan Harlah Ke-96 NU menurut kalender Masehi ini diawali dengan pembacaan istighasah dan shalawat yang dipimpin oleh A’wan PBNU Habib Ahmad al-Habsyi. Prosesi pengukuhan ini dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, dan Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 H Jusuf Kalla. Keduanya mengenakan setelan peci hitam, jas, dan sarung. Bedanya, Presiden Jokowi mengenakan jas berwarna abu-abu, sedangkan Wapres Kiai Ma’ruf mengenakan jas warna hitam. (Aza)