Indonesiainside.id, Jakarta — Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis menilai Rencana pemetaan masjid tidak bisa dilakukan. Menurut Iskan, kondisi ini juga bisa menjadikan konflik antar masyarakat sehingga mudah tersulut. Selain itu, sangat diskriminatif karena hanya menyasar tempat ibadah umat Islam.
“Pemetaan Masjid ini diterima dengan syarat yang ketat, ini jelas bisa menimbulkan konflik di masyarakat kita. Pasalnya ini dapat memberikan warna dan kategori pada sejumlah masjid. Tanpa merinci kategori dan lokasi masjidnya, saya rasa Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri harus mengkaji ulang pernyataannya untuk pemetaan masjid itu agar jangan sampai nanti bisa menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Ini bisa menjadi suatu sikap yang diskriminatif nanti nya karena hanya menyasar kepada tempat ibadah umat Islam”, ujar Iskan, dilansir laman Fraksi PKS DPR RI, Jumat (4/2/22).
Aleg asal Sibuhuan ini menambahkan bahwa soal pemetaan penyebaran paham radikal itu harusnya dilakukan secara adil dengan menyasar tempat ibadah agama lain dan juga harus difokuskan kepada kelompok sparatis.
“Saya tidak setuju juga dengan kecurigaan dari polri karena alasan yang tidak berdasar. Kenapa seakan dikhususkan untuk Masjid saja, inilah yang harus kita pahami bahwa jika memang ada penyebaran radikalisme di masjid, itu akan dengan mudah terungkap berkat adanya media sosial. Lebih baik pihak kepolisian itu langsung melakukan penindakan terhadap pelaku penyebaran radikalisme tersebut dan tidak cuma melakukan pemetaan, tapi juga harus difokuskan untuk kelompok sparatis yang sudah sangat mengganggu NKRI ini”, tegas Iskan.
Lebih lanjut, anggota Legislative Komisi VIII Fraksi PKS ini menambahkan bahwa pemetaan masjid ini harus dievaluasi kembali jangan sampai nanti dampaknya akan memicu konflik di masyarakat.
“Saya rasa pemetaan masjid ini harus dievaluasi atau dikaji lagi terlebih dahulu, dengan nantinya kepolisian agar meninjau ulang langkah – langkah pemetaan masjid di berbagai daerah itu. Satu lagi yang penting tentang pemberian stigma dari kepolisian itu sangat mungkin menimbulkan konflik horizontal di masyarakat,” ujarnya.
Terlebih lagi, kata Iskan, stigma itu bukan berasal dari institusi keamanan negara, dan terkait pelabelan yang dilakukan kepolisian ini justru bukan metode tepat untuk mengumpulkan informasi di tengah permasalahan radikalisme saat ini.
“Oleh karenanya, Teknis (pengumpulan data) itu perlu ditinjau lagi, labeling atau stigma tidak menyelesaikan masalah, justru bisa menciptakan resistensi”, pungkas Iskan mengakhiri. (Aza)