Indonesiainside.id, Jakarta – Alih-alih menyelesaikan masalah peningkatan kesejahteraan terhadap nasib guru honorer, program seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) justru membawa dampak negatif terhadap sistem pendidikan nasional.
Menurut para ahli pendidikan, dikutip dari Muhammadiyah.or,id, banyak sekolah swasta kehilangan tenaga pengajar karena lulus PPPK. Migrasi para guru yang lolos PPPK ke sekolah negeri membuat guru honorer yang tidak lolos PPPK di sekolah negeri malah tergusur. Masalah ditambah dengan proses adaptasi para guru di sekolah baru beserta penyesuaian administratif yang tidak sederhana.
Tak ayal, kritik berdatangan dari sekian lembaga penyelanggaran pendidikan swasta terkemuka seperti Muhammadiyah, LP Ma’arif PBNU, PGRI, Taman Siswa, lembaga pendidikan Kristen, Katolik, dan yang berbasis agama, bahkan oleh guru honorer sendiri.
Pemerintah Harus Cermat Buat Regulasi
Dalam forum daring Vox Populi Institute Indonesia bertema “Evaluasi dan Prospek Pendidikan Indonesia 2022” pada Senin (7/2), Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah, R Alpha Amirrachman, berharap pemerintah lebih berhati-hati dalam membuat produk kebijakan.
“Kami sangat menyesalkan karena program ini awalnya ada kelengahan dalam pembuatan kebijakan. Awalnya disasar untuk guru-guru honorer yang ada di sekolah-sekolah swasta. Tapi karena tidak clear, akhirnya juga menyasar guru-guru tetap yang ada di sekolah-sekolah swasta dan itu rata-rata sudah sertifikasi, sudah berpengalaman, sebagian kepala sekolah dan ini menjadi disrupsi yang luar biasa,” keluhnya.
PPPK adalah Niat Baik yang Salah Sasaran
Dari sedikitnya tujuh ribu lembaga pendidikan Muhammadiyah, terdapat sebanyak 75.734 guru. Dari angka itu, kata Alpha sebanyak 4.731 guru lolos PPPK dan diperkirakan terus bertambah.
Mewakili keluhan yang sama dari lembaga penyelenggara pendidikan swasta lain seperti LP Ma’arif PBNU, Taman Siswa, PGRI, hingga berbagai lembaga pendidikan berbasis agama selain Islam, Alpha Amirrachman menyayangkan niat baik pemerintah yang terkesan tergesa-gesa.
“Jadi ini bukan hanya sekadar hak mereka (guru honorer) untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Kami setuju dan apresiasi, tapi dalam pelaksanaan dan implementasinya tolong ini dipikirkan implikasinya secara matang agar tidak memecahkan masalah tapi dengan menimbulkan masalah baru,” pesannya.
Alpha mengingatkan, Muhammadiyah beserta lembaga lain di atas telah meringankan beban dan kewajiban pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa. Muhammadiyah sendiri bahkan telah menyelenggarakan pendidikan sejak awal abad 20 hingga saat ini.
“Yang perlu dipahami kalau pemerintah bekerja sama atau bersinergi untuk kami, itu bukanlah untuk kami atau dalam tanda kutip membantu dalam berbagai hal sekolah-sekolah yang digerakkan masyarakat itu bukanlah untuk kami, untuk Muhammadiyah, atau untuk organisasi yang menggerakkan. Tapi untuk anak bangsa itu sendiri. Jadi itu akan kembali kepada negara. Karena kita memberikan sumbangsih mendidik anak bangsa bukan untuk kita, tapi untuk bangsa,” tegasnya.
Melemahkan Inisiatif Masyarakat Memajukan Pendidikan
Dalam forum yang sama, pengamat pendidikan nasional, Darmaningtyas menyebut ada tiga generasi penyelenggara pendidikan nasional beserta fungsinya.
Generasi Pertama lahir sebelum kemerdekaan dengan tujuan perjuangan kemerdekaan. Generasi Kedua lahir setelah kemerdekaan dengan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan Generasi Ketiga lahir pada masa rezim Soeharto dan pasca erareformasi dengan misi usaha (bisnis) pendidikan.
Dari ketiga generasi ini, Muhammadiyah beserta lembaga-lembaga yang disebutkan sebelumnya masuk dalam tipe pertama dan kedua. Ribuan lembaga pendidikan Muhammadiyah tumbuh bukan secara sentralisir (mandat dari Pimpinan Pusat) tetapi muncul dari kepedulian warga Muhammadiyah di akar rumput untuk menyelenggarakan pendidikan sehingga tidak bisa dipukul rata oleh ketentuan PPPK.
“Dan niat mereka itu adalah amal ibadah, niat mereka adalah memberikan sumbangsih. Pada saat yang sama militansi warga kita memang tidak selalu diikuti oleh profesionalisme, oleh visibility studies seperti yang dimiliki sekolah negeri, jadi akan banyak tantangan yang dihadapi oleh warga Muhammadiyah dalam membangun sekolah-sekolahnya,” kata Alpha Amirrachman.
“Jadi ini tidak bisa seperti private corporate yang ketika gagal membentuk profit berarti gagal mensejahterakan karyawannya. Tidak dalam mindset seperti itu. Apalagi oleh pendidikan yang digerakkan oleh kepedulian untuk mencerdaskan anak bangsa,” imbuhnya.
“Jadi sekolah-sekolah kami, sebagian besar adalah sekolah perjuangan yang itu didirikan dengan air mata, dengan keringat oleh warga Muhammadiyah di akar rumput yang ingin memberikan sumbangsihnya pada anak bangsa, ingin amal ibadah dan ingin berinvestasi untuk kebaikan karena itu kalau guru-gurunya belum sejahtera mereka patungan dan yang belum digaji mereka bayar dulu dengan uang pribadi mereka,” ungkap Alpha.
Saran untuk PPPK dan Sorotan Permendikbud No.6/2021
Tak lupa, Alpha mengkritik Permendikbud Ristek No.6 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Juknis BOS (Bantuan Operasional Sekolah) Reguler SD SMP SMA SMK yang belum berubah. Ketentuan keberadaan minimal 60 siswa sebagai syarat mendapatkan BOS dianggap merugikan Muhammadiyah dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan di atas.
Alpha meminta pemerintah segera merevisi atau mencabut ketentuan ini karena bertentangan dengan hukum yang lebih atas, yakni Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak pendidikan warga negara dan kewajiban pemerintah.
“Ini akan menyulitkan sekali bagi sekolah yang digerakkan oleh Muhammadiyah dan lainnya yang tersebar di pelosok-pelosok tanah air bahkan ke daerah-daerah yang belum terjangkau oleh pemerintah. Jumlah siswa itu tidak selamanya 60, ada yang 40, ada yang 30 dan itu kalau diskriminasi yang terjadi tidak akan baik bagi negara itu sendiri,” ingatnya.
Untuk polemik PPPK sendiri, Alpha memberi saran agar para guru yang telah lulus seleksi tidak dipindahkan ke sekolah negeri, tetapi tetap di sekolah swasta dengan mencontoh kasus dosen-dosen DPK sesuai format UU Pegawai ASN. Hal ini menurutnya telah disampaikan kepada Komisi X DPR RI.
“Sederhana, para guru kembali [ke sekolah semula]. Para guru bisa tetap digaji oleh negara, dan mengajar di sekolah swata. Jadi tidak perlu ada dikotomi sekolah swasta dan negeri” tegasnya.
Muhammadiyah Sudah Punya Peta Jalan Pendidikan
Terakhir, Alpha Amirrachman mengaku perhatian Muhammadiyah memajukan pendidikan nasional tidak berhenti sekalipun polemik kebijakan pemerintah terus bermunculan.
Di kala Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 hingga saat ini belum memiliki naskah akademik, Muhammadiyah menurut Alpha telah berhasil menyusun Rancangan Peta Jalan Pendidikan (RPJP) Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah hingga tahun 2045.
RPJP Dikdasmen itu sendiri terbagi dalam lima tahapan milestone yang sistematis, yakni RPJP untuk tahun 2021-2024, tahun 2025-2029, tahun 2030-2034, tahun 2035-2039, dan tahun 2040-2045.
“Jadi kami memprediksi bagaimana pendidikan kami di Muhammadiyah ini dalam tahapan-tahapan itu sampai 2045 dalam generasi emasnya di mana generasi produktif kita akan sangat dominan di tanah air ini,” kata Alpha.
“Nah yang jelas, dari Muhammadiyah kami ingin anak-anak didik kami ketika mereka lulus dari sekolah Muhammadiyah itu bukan hanya menjadi anak-anak yang cerdas, terampil, pintar. Tapi lebih dari itu mereka adalah anak-anak bangsa kita yang berkarakter, berakhlakul karimah, berbudi pekerti, tapi juga berjiwa kepeloporan dan berjiwa kepemimpinan. Jadi secara kasar mungkin tidak hanya menjadi pekerja, tapi juga mejadi pemimpin yang pada saat yang sama ikut berkontribusi di mana dia berkiprah mengubah masyarakat menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Dan itu adalah filosofi dari pendidikan kami,” pungkas Alpha. (Aza)
Sumber: Muhammadiyah.or.id