Indonesiainside.id, Jakarta – Pemandangan suram terlihat di Caritas Medical Center, Hong Kong, pekan lalu.
Tepat di luar ruang gawat darurat rumah sakit, puluhan tempat tidur rumah sakit ditempatkan di sepanjang lorong di bawah tenda darurat.
Di udara yang mengambang terdengar rintihan pasien – kebanyakan mereka adalah orang tua – dan tangisan bocah.
Semua pasien diduga atau terkonfirmasi Covid menanti untuk dirawat.
“Rasanya kami seperti berada di kamp pengungsi ketika perang. Ini menyedihkan. Air mata kami tumpah, tetapi tidak ada lagi ruang di bangsal.
“Mereka hanya bisa menunggu dan tidak ada yang bisa kami lakukan,” ujar seorang perawat di ruang gawat darurat kepada BBC News Indonesia.
Beberapa hari kemudian pasien dipindahkan ke dalam ruangan, setelah Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan situasinya “tidak dapat diterima”.
Namun demikian semua rumah sakit di Hong Kong masih tetap penuh, karena kota itu tengah memerangi gelombang varian Omicron yang terburuk.
Hong Kong menjadi contoh keberhasilan pengendalian pandemi dalam dua tahun terakhir.
Pada akhir 2021, kota berpenduduk 7,5 juta itu hanya mencatat 12.650 kasus dan kurang dari 220 kasus kematian.
Keberhasilan itu membenarkan kebijakan pemerintah dalam menerapkan strategi “nol Covid”, yang melibatkan pengujian awal, pelacakan kontak secara terperinci, aturan karantina ketat, dan pembatasan perjalanan yang ketat.
Tetapi kota ini dipaksa bertekuk lutut dengan kehadiran varian Omicron yang sangat mudah menular.
Jumlah kasus yang dilaporkan telah melonjak menjadi lebih dari 66.000 hanya dalam beberapa bulan.
Kasus Omicron lokal pertama terkait dengan kasus dua pramugari Cathay Pacific yang melanggar aturan Covid, yang ditemukan pada akhir Desember.
Kemudian klaster yang lebih besar muncul di hotel karantina. Sistem medis Hong Kong berada di ambang kehancuran, kata para ahli.
Menurut proyeksi Universitas Hong Kong (HKU), Hong Kong akan menghadapi masa puncak penularan – ditandai lebih dari 180.000 kasus baru setiap hari – pada pertengahan atau akhir Maret, jika langkah-langkah terkait jarak sosial saat ini tetap berlaku.
Pada pertengahan Mei nanti, jumlah korban meninggal diperkirakan mencapai 3.200 kasus.
“Karena kesuksesan kami [di awal pandemi], secara paradoks, orang-orang terbuai dengan rasa aman yang palsu,” kata Gabriel Leung, Dekan kedokteran HKU.(Nto)