Indonesiainside.id, Jakarta – Dalam konflik antara Rusia dan Ukraina yag tengah berkecamuk, negara-negara lain dipaksa untuk memihak oleh Amerika dan negara-negara sekutunya. Memilih mana, membela Rusia atau bersama Amerika – Barat untuk melawan Rusia serta membantu Ukraina.
Hal ini sama seperti setelah 9/11, Amerika Serikat dan sekutunya menganggap hal itu menandai awal konflik “KAMI MELAWAN MEREKA”. Sehingga muncullah ungkapan “ANDA JADI KAWAN ATAU LAWAN?”, dikesankan hal ini perang antara yang baik dan yang jahat.
Untuk negara seperti India dan negara-negara Asia lainnya, kenyataannya jauh lebih kompleks dan bernuansa. Bersama dengan raksasa Asia lainnya, seperti China, dan negara-negara lain seperti Uni Emirat Arab, India memilih abstain dalam resolusi PBB untuk memberikan sanksi kepada Rusia atas serangannya ke Ukraina. India dan negara-negara itu mengabaikan upaya AS dan sekutu Baratnya mempengaruhinya.
Pertanyaannya, mengapa India melakukannya?
Begini, India saat ini berada dalam posisi yang tidak menyenangkan dalam menghadapi ancaman teritorial dari Cina yang bangkit militernya yang berada di timurnya juga tidak akur dengan Pakistan yang memiliki senjata nuklir di baratnya. Sangat sedikit sekutu bagi India di dekatnya. Sebagai kekuatan regional, India tidak punya pilihan selain menyeimbangkan persahabatan historisnya dengan Rusia dan memperkuat hubungannya dengan Amerika Serikat.
“Seperti setiap kekuatan besar lainnya, India bertindak sesuai dengan kepentingan strategis nasionalnya. Jika menyetujui AS dan sekutunya dalam perang yang tidak memiliki konsekuensi langsung bagi India, dan melukai mitra pentingnya yakni Rusia, itu sama sekali tidak masuk akal,” ujar pengamat Asia Pacific Foundation, Rupa Subramanya, Kamis (3/3).
Inilah yang menjelaskan posisi netral India, tidak mau berpihak pada AS dan NATO atau Moskow tetapi dengan lembut mengungkapkan agar Rusia dan Ukraina menempuh dialog menyelesaikan semua masalahnya.
Bukan hanya India, tetapi banyak kekuatan negara berkembang lainnnya yang telah mengambil posisi agnostik seperti itu, termasuk Afrika Selatan, yang buru-buru mundur jauh dari garis agresif memusuhi Rusia. Mereka memilih jalan aman dan tidak mau ikut-ikutan dalam propaganda Amerika dan Barat.
“Anda tidak akan pernah mengetahuinya dari liputan media-media utama Barat, tetapi fakta menunjukkan lebih dari sepertiga umat manusia tidak memihak dalam konflik Eropa saat ini,” katanya lagi.
ISRAEL PUN MEMILIH JALAN AMAN
Bahkan Israel, sebagai sekutu setia Amerika, telah mengambil jalan tengah, mengkritik invasi dan menekankan hubungan kuat yang dimiliki Israel dengan Rusia dan Ukraina. Demikian juga, negara berkembang lainnya di Amerika Latin, Brasil, juga mengambil posisi netral, menolak untuk mengutuk invasi secara langsung dan menyerukan solusi damai.
ASEAN juga membuat catatan serupa dalam pernyataan tertunda pada 26 Februari yang mengungkapkan keprihatinan atas konflik tersebut tetapi juga berhenti mengutuk Rusia.
Presiden AS Joe Biden telah menjelaskan bahwa tidak ada pasukan Amerika yang akan ikut perang membela Ukraina, sementara Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dengan tegas menyatakan bahwa pasukan Inggris juga tidak akan memerangi pasukan Rusia di Ukraina. Kedua pemimpin telah menolak seruan untuk zona larangan terbang di atas Ukraina.
“Jadi pertanyaannya Jika AS dan sekutu Baratnya tidak mau memerangi Rusia di Ukraina, mengapa negara lainnya harus mengorbankan kepentingannya demi Barat?,” katanya.
Tidak seperti AS dan negara-negara besar Eropa Barat yang tidak menghadapi ancaman teritorial eksistensial sejak Perang Dunia Kedua, India dan negara lainnya telah menghadapi ancaman seperti itu hingga saat ini.
“Oleh karena itu, para pemimpin dan pemikir strategis utama tentunya lebih bersimpati pada ketakutan Rusia akan pengepungan wilayahnya oleh senjata-senjata NATO yang nyata-nyata bermusuhan daripada negara seperti AS yang memiliki tetangga bersahabat di utara (Kanada) dan tetangga yang lemah dan miskin di selatan,” ujarnya.
Rusia sebaliknya, mereka memiliki pengalaman pahit diserbu dari barat oleh Napoleon pada abad ke-19 dan Hitler pada abad ke-20. Karenanya, melihat NATO di depan pintunya di negara-negara Baltik, yang merupakan bagian dari bekas Uni Soviet, dan sekarang mungkin juga di Ukraina. Wajar jika Rusia harus menyatakan kekhawatirannya diserang.
RASISME BARAT
Apa yang juga tidak luput dari perhatian negara berkembang adalah Eurosentrisitas liputan media mainstream Barat tentang konflik Rusia-Ukraina. Media-media utama Barat dan juga Amerika sangat jelas menunjukkan keberpihakan kepada Ukraina dan memojokkan Rusia.
Hal ini sangat kontras ketika terjadi konflik di negara-negara lain. Misalnya saja saat Amerika dan sekutunya dengan membawa-bawa nama koalisi internasional tiba-tiba menyerang Irak dan Afghanistan. Berapa juta nyawa warga sipil yang melayang di bawah ambisi Presiden George Bush yang haus perang. Begitu juga di Afghanistan, Suriah, Libya.
Di sisi lain, warga Eropa juga terlihat rasis dalam konflik di Ukraina. Kepedulian yang tidak pernah ditunjukkan dalam konflik di tempat lain, termasuk perlakuan Israel atas Palestina.
“Mereka terlihat rasis dalam perang ini dengan Kyiv digambarkan sebagai ibu kota kafe dan butik Eropa yang apik,” ujarnya.
Identifikasi dengan Ukraina tampaknya begitu lengkap sehingga banyak orang di Barat tampaknya bersedia membawa dunia ke ambang konflik nuklir. Dengan narasi bahwa ‘sangat banyak orang-orang seperti kita” (orang kulit putih dan bermata biru) yang membutuhkan bantuan.
“Seruan-seruan semacam itu tampak mencolok tetapi sama sekali tidak tampak ketika perang mendatangkan malapetaka di tempat-tempat seperti Afghanistan dan Irak,” tegasnya.
(Nto)