Mata, hati, dan lidah adalah anugerah yang agung. Di balik keagungannya, ada juga marabahaya jika tidak dijaga dan dikelola dengan baik.
Menjaga pandangan adalah kebaikan yang utama karena mata menjadi pintu masuk berbagai informasi dan pengetahuan. Sementara hati adalah pengendali. Ia bisa mengendalikan yang boleh dan yang dilarang untuk dilihat, dan menahan lidah yang gemar bicara. Kalau mata adalah in atau perangkat masuknya, lidah menjadi perangkat out-nya. Sementara hari adalah server dan pilter. Ia menyimpan yang baik dan membuang yang buruk. Itu jika hati berfungsi sebagai Qolbun Salim. Hati yang bersih dan menyelamatkan.
Semakin kecil hati seseorang, akan semakin panjanglah lidahnya. Karena hatinya sempit, maka luapan emosinya tak terbendung. Lidahnyalah menjadi pelampiasan. Seperti namanya, matanya akan jadi mata-mata. Sudut padangnya awas dan jeli.
Namun hati yang lapang, pandangan yang luas, akan menahan lidahnya dari ucapan yang selalu menyalahkan orang lain, menyesali keadaan, dan membicarakan yang tidak penting.
Hati yang luas tak hanya mengendalikan lidah tetapi menginspirasi pikiran. Juga menjernihkan pandangan. Jika hati bertanya, maka pikiranlah yang akan menjawab. Pandangan tertunduk dari objek yang tidak pantas.
Hanya hati yang dapat memberikan pikiran, sementara pikiran tidak akan pernah memberikan hati. Hati pula yang menjernihkan pandangan, sementara pandangan yang bebas kerap mengotori hati. Begitulah kekuatan hati. Kekuatan yang tidak datang dari hati adalah kelemahan.
Singkatnya, hati orang yang pendek pikiran ada di mulutnya, dan lidah orang bijak ada di hatinya. Dari lipatan bahaya yang dialaminya, lahir hati yang agung. Dari sumber bahaya yang dipandangnya, lahir hati yang bijak dan hatinya memberikan keseimbangan dalam gerak, perilaku, dan ucapan.
Intinya, jika hati baik, maka semuanya bisa diperbaiki. Jika hati buruk, maka waspadalah! Karena hati sangat mudah tertipu oleh mata dan pendengaran. Dan hati yang penuh kebencian akan memakan pemiliknya.
Hati yang damai akan melihat masalah jadi solusi. Hati yang bijak akan mendorong lidah lebih berhati-hati. Ia lembut dan melembutkan walau gampang retak, tetapi bukanlah lutut yang mudah terlipat.
Hati yang lembut bukan pula berarti ia lembek. Bukan pula berarti mudah terombang-ambing. Ia akan tegar dan kuat jika berpegang pada prinsip. Dan prinsip orang beriman bersumber dari wahyu lewat Al-Qur’an atau melalui lidan Nabi SAW. Itulah pentingnya kecerdasan hati, bukan kebekuan yang mengeringkan jiwa. Jika ia beku, jiwa akan kering. Dalam jiwa yang kering, sama saja dengan kuburan dalam diri.
Dari pada hati beku dan keras, lebih baik telinga tidak mendengar dan mata tidak melihat. Daripada buta hati, tentu lebih baik buta mata. Karena buta mata belum tentu membuat hati buta agama. Sementara buta hati sudah pasti akan membuat semua organ buta agama.
Lidah mungkin bisa berbohong, tapi hati tidak. Mata juga bisa dibohongi, tapi hati tidak. Namun, jika hati sudah berbohong dan mudah dibohongi, itulah yang disebut dengan hati yang sakit. Hati yang terkunci dari kebenaran. Ia tertutup noda hitam sehinga tak dapat lagi memfilter, tak juga menjernihkan pikiran, pandangan, serta tak mampu menahan dan mengendalikan lidah. Kebohongan lidah adalah mengatakan apa yang tidak dikatakan, mengatakan dan tidak melakukannya, dan kebohongan hati adalah menjadi rumit dan tidak bertindak.
Mata dan telinga adalah jalan menuju hati. Dari hatilah seharusnya lidah berucap. Maka kata-katanya akan bertuah, didengar, mengikat, bahkan menyayat dan menggetarkan. Tanpa hati, kata-kata itu yang akan menyayat dirinya. Karena kata yang telah terucap akan menjadikan penuturnya tertawan, sementara kata yang tak terucap, akan membuat sang penutur menahan dan membuat kata-katanya akan tertawan selamanya. Maka diam lebih baik jika kata tak bermakna lagi. Falyaqul khaeran aw liyasmut. Berkata baiklah, atau diam. Itulah iman dalam berkata dan bertutur. Wallahu A’lam.
Sumber bacaan: mawdoo3.com