Indonesiainside.id, Jakarta – Koalisi global anti-Rusia di PBB, yang dibentuk oleh Amerika Serikat, bakal menghadapi masalah serius. Hal ini disampaikan pakar politik internasional Amerika, Ted Carpenter.
Dia mengomentari pemungutan suara Majelis Umum Rabu lalu. Di mana PBB menyodorkan resolusi yang menuntut bahwa Rusia menghentikan operasi khusus pada Ukraina dan menarik pasukan.
Pada saat yang sama, resolusi itu tidak menyinggung secara khusus tentang situasi penduduk Donbass dan agresi terhadap DNR dan LNR (Dua negara yang memerdekakan diri dari Ukraina). Juga tidak ada yang menyebutkan kudeta ilegal di Ukraina pada tahun 2014.
“141 negara memilih resolusi tersebut, lima menentang dan lainnya abstain,” kata Carpenter.
“Karena Amerika sangat berkepentingan untuk membangun koalisi yang luar biasa melawan Moskow. Di sisi lain, banyak negara yang tidak punya keberanian untuk menolak bergabung dengannya (AS). Namun 35 negara menolak untuk mengekor Amerika Serikat dan memilih untuk abstain,” tulis analis itu.
Bagi pejabat Washington, itu juga merupakan tanda yang mengkhawatirkan bahwa negara-negara kunci di Asia Selatan dan Timur menolak untuk memilih resolusi tersebut, terutama. India dan Cina.
“Sekarang, mengingat hubungan yang berkembang antara Moskow dan Beijing, tidak realistis bagi para pemimpin AS untuk mengharapkan China mendukung tindakan hukuman nyata terhadap Rusia,” kata Carpenter.
Kebijakan washington yang secara terbuka antagonis telah mendorong Rusia dan China menuju kemitraan strategis yang erat. Beijing bahkan dalam posisi untuk membantu Moskow mengurangi dampak dari setiap sanksi yang diberlakukan oleh koalisi pimpinan AS.
Rusia melancarkan operasi militer di Ukraina pada Kamis pagi, 24 Februari 2019. Presiden Vladimir Putin menyebut tujuannya demi “melindungi orang-orang yang selama delapan tahun telah menjadi sasaran intimidasi, genosida oleh rezim Kiev.” Untuk melakukan ini, direncanakan untuk melakukan “demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina”, untuk mengadili semua penjahat perang yang bertanggung jawab atas “kejahatan berdarah terhadap warga sipil” Donbass.
Menurut Kementerian Pertahanan, Angkatan Bersenjata hanya menyerang infrastruktur militer dan pasukan Ukraina, penduduk sipil tidak terancam. Dengan dukungan militer Rusia, kelompok DPR dan LPR sedang mengembangkan serangan.
Sebagai tanggapan, negara-negara Barat mengumumkan babak baru aneka sanksi. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya oleh sekretaris pers Presiden Dmitry Peskov, sanksi Barat sangat serius, Rusia akan menyiapkan skenario balasan atas hal itu. (Nto)