Indonesiainside.id, Jakarta – Israel sesumbar mengutuk agresi Rusia di Ukraina karena mengorbankan rakyat sipil. Serangan militer Rusia, benar, dianggap sebagai mesin pembunuh yang memakan korban sipil yang tak berdosa. Karenanya, Israel angkat bicara dan mengutuk peperangan terhadap rakyat Ukraina.
Terlepas dari kekejaman pasukan militernya di Palestina, Israel ternyata mengutuk perang. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid, Senin (7/3/2022), atas serangan Rusia ke wilayah Ukraina. “Kami akan terus mengutuk invasi Rusia. Tidak ada pembenaran untuk melanggar kedaulatan Ukraina dan membunuh warga sipil tak berdosa,” kata Yair Lapid setelah pertemuan dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Riga, Latvia.
Tak hanya Israel, negara-negara di dunia juga mengutuk Rusia atas invasi ke sejumlah kota di Ukraina. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson serta para pemimpin Prancis, Jerman dan Amerika Serikat (AS), mengutuk tindakan Rusia yang disebut “barbar”. Para pemimpin dunia solid untuk menyelamatkan rakyat Ukraina, demikian pernyataan dari kantor Johnson.
“Mereka membahas situasi militer dan politik di lapangan dan setuju bahwa setiap negosiasi masa depan tentang masa depan Ukraina harus mengutamakan kebutuhan dan keinginan Ukraina,” katanya, dilansir Anadolu Agency.
Johnson dan para pemimpin lainnya setuju memberikan tekanan pada Rusia untuk mengisolasi Presiden Rusia Vladimir Putin secara diplomatis dan ekonomi. Mereka juga solid untuk menggagalkan langkah Putin dalam tindakan agresi di Ukraina. Johnson bersama Presiden AS Joe Biden, Presiden AS dan Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz, sepakat dan satu suara melanjutkan pertemuan lebih lanjut di hari-hari mendatang.
Di belahan dunia lainnya, ada pemimpin negara yang hanya jadi penonton dan menyaksikan betapa ketidakadilan dunia terhadap isu kemanusiaan dalam konteks krisis internasional. Bahkan apa yang diteriakkan orang-orang Palestina selama 50 tahun terakhir bak tong kosong nyaring bunyinya. Terdengar keras tetapi tidak menarik perhatian. Apa yang terjadi di Palestina seolah tidak memiliki nilai diplomasi dan ekonomi melainkan hanya teriakan “basi” orang-orang lemah.
Apa yang terjadi di Palestina dengan cepat diinternalisasi oleh Barat di Ukraina. Keputusan untuk memobilisasi untuk menghentikan penjajah yang agresif, menjatuhkan sanksi ekonomi, menutup wilayah udara, serta memboikot acara olahraga dan budaya dilaksanakan dalam waktu tujuh hari. Ukraina akan menerima senjata, amunisi, intelijen, dan teknologi yang dapat melemahkan Vladimir Putin dan Rusia. Demikian pesan dari artikel yang ditulis Jack Khoury, kolumnis Haaretz.com.
Dia melanjutkan, tuntutan paralel (yang sama) untuk menerapkan resolusi oleh Dewan Keamanan PBB dan komunitas internasional yang lebih luas untuk kepentingan Palestina terdengar seperti lelucon basi (a stale joke). Hukum internasional hanya bagus untuk sebuah mata kuliah. Setiap inisiatif untuk memajukan langkah signifikan di PBB, terutama di Dewan Keamanan, menghadapi hak veto Amerika. Setiap seruan untuk kecaman atau sanksi menghadapi seruan antisemitisme atau hadiah untuk teror (a prize for terror) dengan tuduhan bahwa ini akan merusak upaya solusi dua negara.
Para pemimpin Palestina mengikuti perkembangan di Ukraina dan mereka hanya bisa menggigit jari. “Ini adalah waktu untuk tetap diam,” kata seorang pejabat senior Palestina kepada penulis artikel, Jack Khoury. “Setiap pernyataan atau pengambilan posisi akan sangat merugikan kami. Mengapa mengganggu Amerika Serikat dan Barat? Kami sangat membutuhkan bantuan mereka. Dan mengapa membuka front melawan Rusia dan Putin?”
Meski begitu, bagi orang Palestina, keheningan dunia di Ramallah dan Gaza tidak membuat mereka frustrasi dan kecewa. Memang ada pesan berbeda yang datang dari komunitas internasional. Argumen bahwa Amerika Serikat dan Eropa memiliki standar ganda bukan baru. Itu muncul setiap kali ada krisis internasional di mana “Barat” campur tangan melawan agresi tirani. Tetapi ingat, kasus Ukraina memberi pesan penting dan menjadi fokus yang tajam berkaitan dengan perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel.
“Banyak orang Palestina berpihak pada Putin bukan karena mereka mendukung tirani atau memiliki perasaan sadis sebagai orang yang diduduki, tetapi karena pemahaman bahwa dunia yang tercerahkan tidak lagi merangkul keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Sebaliknya, ia bertindak berdasarkan pertimbangan keamanan dan ekonomi. Jika kamu kuat, kita bisa bicara. Jika Anda lemah, kami akan menginjak-injak Anda. (If you’re strong, we can talk. If you’re weak, we’ll trample you). Itulah persamaannya.” tulis Jack Khoury di kolom opininya.
Di Ramallah mereka tidak perlu jauh-jauh ke Kremlin untuk menemukan buktinya. Cukup mengunjungi kantor pemimpin Hamas di Gaza, Yahya Sinwar. Pria ini, yang di mata Israel adalah pemimpin organisasi teroris mendapat perhatian lebih dari semua yang mengelilingi Presiden Mahmoud Abbas.
Israel telah menginvestasikan lebih banyak upaya militer dan intelijen di Gaza daripada di Tepi Barat selama 20 tahun terakhir. Setiap rudal yang diluncurkan dari Gaza mengguncang opini publik; ancaman di Tel Aviv yang lebih besar dari selatan jauh lebih besar daripada dari seberang pagar beberapa mil di timur kota.
“Selama 25 tahun, para pemimpin Palestina, terutama Abbas, telah memilih apa yang mungkin dianggap sebagai pendekatan yang “baik”. Ada empat presiden di Washington, setidaknya tiga di antaranya mendukung solusi dua negara. Tapi mimpi itu memudar. Klaim bahwa setiap kesepakatan membutuhkan kemauan dari kedua belah pihak hancur di depan mata kita,” tulis Jack Khoury.
Dia melanjutkan, minggu lalu, Presidan Amerika Serikat Joe Biden berpidato bahwa melawan pendudukan orang lain dan melawan agresi Rusia dapat dengan mudah dianut oleh orang-orang Palestina, tetapi semua orang tahu bahwa tidak ada yang akan terjadi di sini.
“Dunia, tersentuh oleh foto-foto pengungsi berkulit terang, bermata biru yang berjalan dengan susah payah menuju perbatasan negara tetangga, tetapi acuh tak acuh terhadap pemandangan seorang wanita berkulit gelap berhijab berjalan melalui reruntuhan di Kota Gaza.”
Orang-orang Palestina, terutama generasi Kesepakatan Oslo, memahami pesan ini. Ini adalah generasi yang lahir dengan visi perdamaian 25 tahun yang lalu, generasi yang masih menunggu masyarakat internasional. (Aza)