Indonesiainside.id, Jakarta – Penetapan 1 Ramadhan 1443 H di semua negara Arab kemungkinan serentak pada 2 April 2022. Para ahli falak memperkirakan 1 Ramadhan akan jatuh pada 2 April 2022, berdasarkan tradisi melihat bulan sabit, dan akan berlangsung selama 30 hari. Menurut mereka, matahari terbenam pada Ahad 1 Mei 2022. Hal itu dilansir Al-Ain Al-Akhbariya, baru-baru ini.
Kapan Ramadhan 2022 akan tiba, memang menjadi pertanyaan yang menyibukkan banyak Muslim di dunia. Jutaan orang menantikan datangnya bulan suci, di mana rahmat turun dan kebaikan berlimpah serta pahalanya berlipat ganda.
Ummat Islam yang sehat wajib berpuasa selama satu bulan penuh pada Ramadhan, dari adzan subuh hingga matahari terbenam. Yang boleh meninggalkan puasa bagi muslim hanya empat golongan, yakni anak-anak, musafir, orang dengan penyakit fisik atau mental, dan wanita hamil.
Puasa merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Puasa adalah menahan diri atau berhenti makan, minum, merokok, dan berhubungan badan di siang hari. Selain itu, hakikat puasa bagi ummat Islam bertujuan untuk menjaga kemurnian pikiran dan tindakan di bulan Ramadhan. Bulan suci ini akan diakhiri dengan perwyaan Idul Fitri sebagai tanda akhir bulan puasa.
Ibrahim Al-Jarwan, Ketua Dewan Direksi Emirates Astronomy Society, anggota Uni Arab untuk Astronomi dan Ilmu Luar Angkasa, memperkirakan Ramadhan akan dimulai pada 2 April di Tanah Arab. Dia menjelaskan bahwa bulan baru muncul pada hari Minggu pukul 18:36 UTC, yaitu setelah matahari terbenam di Emirates. Bulan sabit Ramadhan tahun 1443 H akan tiba setelah Jum’at tanggal 29 Sya’ban tahun 1443 H bertepatan dengan tanggal 1 April 2022 yang merupakan hari penampakan. Secara astronomis, bulan suci Ramadhan 1443 pertama akan jatuh pada hari Sabtu, 2 April 2022.
Sementara itu, situs web cuaca Arab yang berspesialisasi dalam meteorologi, mengatakan, bahwa penampakan bulan sabit Ramadhan 1443-2022 mungkin terjadi setelah matahari terbenam pada hari Jumat, 1 April, dan oleh karena itu diharapkan bulan Ramadhan akan tiba pada hari Sabtu, 2 April, di semua negara Arab.
Indonesia
Di Indonesia, penetapan awal bulan Ramadhan oleh Pemerintah dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag) melalui sistem rukyat. Sistem rukyat adalah melihat penampakan hilal di akhir bulan untuk menentukan masuknya awal bulan Ramadhan. Berbeda dengan Muhammadiyah, penetapan Ramadhan sudah ditetapkan pada 2 April 2022.
Menurut Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, 1 Ramadhan 1443 H jatuh pada Sabtu, 2 April 2022 sebagai awal puasa Ramadhan 2022. Hal itu tertuang dalam Maklumat PP Muhammadiyah nomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang penetapan hasil hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1443 Hijriah.
“1 Ramadhan 1443 H jatuh pada hari Sabtu Pon 2 April 2022 M,” tulis maklumat tersebut.
Rukyat
Dilansir laman Muhammadiyah, tidak ada yang meragukan bahwa Nabi SAW menggunakan rukyat dalam penentuan awal bulan Qamariah. Banyak hadis-hadis yang menunjukkan demikian. Penggunaan rukyat sebagai metode penenuan awal bulan tidak membawa problem. Apalagi pada waktu itu Islam baru berkembang di daratan jazirah Arab. Terlihat dan tidaknya hilal di Jazirah Arab tidak berpengaruh bagi penepatan jatuhnya waktu- waktu ibadah umat Islam di tempat lain yang jauh dari Semenanjung Arabia.
Penyebaran Islam dimulai tak lama setelah Rasulullah SAW wafat pada 632 M. Berbagai dinasti-dinasti Islam berdiri silih berganti. Dari Bani Umayyah, Abbasiyah, Murabitun, Seljuk Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia hingga Utsmani termasuk yang terbesar dan terkuat di dunia. Perdagangan dan politik telah menyebabkan penyebaran Islam dari Makkah hingga Cina dan Indonesia, bahkan sampai bahkan di pulau-pulau kecil di Samudera Pasifik.
Dalam keadaan umat Islam yang telah tersebar luas, rukyat tidak dapat mencakup seluruh permukaan bumi saat visibilitas pertama. Ada sebagian wilayah di muka bumi yang dapat melakukan rukyat, dan ada bagian dari wilayah bumi yang tidak dapat melakukan rukyat. Konsekeunsinya, umat Islam sedunia tidak dapat melakukan selebrasi keagamaan secara serempak. Apabila ini terjadi dengan bulan Zulhijah, maka akan timbul problem pelaksanaan puasa sunah Arafah.
Dalam perkembangannya, ada perubahan dari rukyat ke hisab dalam tinjauan usul fikih. Ada anggapan kajian fikih klasik tidak selalu dapat mengikuti lompatan perkembangan pemikiran Islam. Padahal, fikih dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan Islam yang shalih likulli zaman wa makan.
Sebagaimana disinggung Ibnu Rusyd bahwa al-Qur’an dan Hadist itu terbatas (mutanahiyat), sementara realitas-realitas yang terjadi di alam raya ini sifatnya tidak terbatas (ghair mutanahiyat), maka perlu melakukan pembaharuan yang sesuai dengan denyut ruang dan waktu yang jalan pelaksanaannya dapat ditempuh melalui (ushul) fikih.
Dalam kaidah fikih disebutkan ‘tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman’. Melalui proses eksplorasi nalar, sejumlah hal ketentuan-ketentuan normatif dalam hukum Islam dapat diubah. Misalnya dalam fatwa-fatwa Umar bin Khattab, salah satunya: menyerahkan tanah rampasan perang kepada negara untuk kemaslahatan penduduk —tidak hanya membagikannya kepada para tentara yang ikut dalam perang yang tak digaji (al-ghuzzat ghair al-murtaziqin).
Dari Rukyat ke Hisab
Berdasarkan ulasan yang dilansir Muhammaddiyah.or.id, dalam kitab Ushul al-Fiqh: Dirasah Naqdiyyah fi Aliyat Iktisyaf al-Ahkam al-Syar’iyyah, Syamsul Anwar menguraikan, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk suatu hukum dapat berubah, yaitu: ada tuntutan kemaslahatan untuk berubah; ketentuan hukum yang berubah itu tidak menyangkut substansi ibadah mahdlah; ketentuan hukum tersebut bukan ketentuan hukum yang qath‘i; dan ketentuan hukum baru harus berlandaskan dalil syar‘i. Apabila perintah penggunaan rukyat dalam hadis Nabi SAW diuji dengan kaidah perubahan hukum ini, maka:
- Terdapat tuntutan untuk melakukan perubahan dari penggunaan rukyat kepada penggunaan hisab. Dalam konteks saat ini, cakupan rukyat terbatas di muka bumi pada hari pertama visibilitas hilal. Sebagian bumi sebelah barat yang bisa melihat hilal sehingga akan memulai bulan qamariah baru keesokan harinya dan ada muka bumi sebelah timur pada hari yang sama tidak dapat melihat hilal sehingga memulai bulan qamariah baru lusa. Akibatnya tanggal hijriah jatuh berbeda-beda. Kenyataan ini membawa akibat serius seperti tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah di seluruh dunia secara serentak.
- Metode rukyat bukan bagian dari ibadah mahdlah, melainkan alat untuk menentukan waktu. Penggunaan rukyat tidak memungkinkan kita meramalkan tanggal jauh hari ke depan karena kepastian tanggal baru diketahui sehari sebelum bulan baru pada setiap bulan. Sebagai alat, rukyat dapat diubah dengan model penghitungan secara eksak demi tercapainya suatu tujuan. Lagi pula, dalam hadis Nabi SAW tentang penentuan awal bulan, yang menjadi ibadah mahdlah adalah puasa, bukan rukyat.
- Perintah melakukan rukyat bukanlah perintah yang qath‘i karena perintah itu berdasarkan kepada hadis ahad. Dalam kaidah ilmu hadis dan usul fikih, hadis ahad tidak selalu berdampak qath‘i, melainkan menimbulkan hukum yang zhanni. Hal tersebut dibuktikan dengan perbedaan pendapat ulama mengenai rukyat. Rasyid Ridha dan Musthafa az-Zarqa, misalnya, menyatakan secara tegas bahwa perintah rukyat itu didasarkan atas suatu kausa (ilat), yaitu kondisi umat pada saat itu belum mengenal tulis baca dan hisab (ummi), sehingga untuk memudahkan Nabi SAW memerintahkan sarana yang tersedia saat itu, yaitu rukyat.
- penggunaan hisab sebagai hukum hasil perubahan mendapatkan dasar-dasarnya di dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam al-Quran terdapat dua ayat yang mengandung isyarat yang jelas kepada hisab, QS. Ar-Rahman ayat 5 dan QS. Yunus ayat 5. Selain itu, Hadis Ibn ‘Umar riwayat al-Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa, “Jika hilal di atasmu terhalang awan, maka estimasikanlah,” memberi tempat bagi penggunaan hisab di kala bulan tertutup awan.
Dengan demikian, perubahan dari rukyat ke hisab tidak bertentangan dengan Sunah Nabi SAW karena keempat syaratnya telah terpenuhi. Dengan hisab, radius kemaslahatan akan semakin lebar. Umat Islam tidak perlu lagi mengarahkan pandangan ke angkasa mencari-cari agar bisa melihat bulan, tetapi dapat melakukan penghitungan posisi bulan dan matahari secara cermat untuk ratusan tahun ke depan. Muhammadiyah tidak ingin bila kontribusi ilmiah dalam menunjang peribadatan terhalang oleh interpretasi literal klasik. (Aza)
Sumber: Al-Ain Al-Akhbariya/ Muhammadiyah.or.id