Hakikat marah adalah percikan api yang bisa berkobar menjadi semakin besar. Maka hati-hatilah jika Anda tak dapat mengendalikan api kecil yang mungkin dimaksudkan untuk pendidikan, tata kelola, atau pengikat disiplin. Jika api sudah membesar dan menguasai, ia bisa menghanguskan.
Marah juga begitu. Awalnya kecil, sepele, atau sekadar saja untuk tujuan tertentu. Namun sedikit saja terpeleset, akal bisa dikuasai oleh nafsu. Maka amarah yang terkendali seperti kebakaran yang bermula dari percikan api. Marah seperti itu juga kerap muncul dan menjadi masalah dalam rumah tangga. Karena tak terkendali, kerap pula meretakkan dan mengakhiri ikatan cinta suami istri. Orangtua dan anak. Saudara dan kerabat. Bahkan sahabat, terlebih rekan bisnis.
Banyak orang bercerai karena tidak mampu mengendalikan amarahnya. Bahkan seseorang karena kalap, dapat menghilangkan nyawa saudaranya sendiri saat diamuk amarah. Betapa banyak hubungan usaha atau kerja sama lembaga, dan semisalnya, retak di ujung karena amarah. Begitulah sifat marah bekerja dan menghanguskan kedamaian.
Hanya cintalah yang bisa memadamkan dan mendamaikan. Menyirami, menumbuhkan, dan memenangkannya. Coba bayangkan bahwa Anda berada di depan iblis, Anda melucuti kedamaian hati Anda, lalu iblis menyulutnya dengan api kemarahan. Jadilah kebencian terhadap orang lain.
Kemarahan dalam arti bahasa ialah ketidakpuasan dengan sesuatu atau tentang sesuatu. Dalam syariah, kemarahan adalah nyala api dari api, dan itu berasal dari setan (الغضب شعلة من النار، وإنه من الشيطان). Sebagaimana firman Allah SWT: (قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ ۖ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ) “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS Shad: 76)
Ketahuilah bahwa tanah liat itu diam dan bermartabat, dan api menyala dan menyala. Artinya, Anda sedang dalam posisi marah, anda tidak berkonflik dengan manusia, anda sedang berkonflik dengan setan, entah akan mengalahkan Anda atau mengalahkannya.
Terkait ayat di atas, As-Sa’di mengatakan, iblis berkata dengan sikap menentang dan melawan Rabbnya: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” Menurut iblis, unsur api lebih baik dari unsur tanah. Ini termasuk analogi yang rusak, karena sesungguhnya unsur api itu adalah materi kejahatan, kerusakan, keangkuhan, kesombongan, dan kehinaan, sedangkan unsur tanah adalah materi kematangan, tawadhu’ (rendah diri), dan tempat tumbuhnya berbagai pohon dan tanaman.
Menurut As-Sa’di, tanah bisa mengalahkan api dan memadamkannya. Dan api selalu membutuhkan benda untuk bisa hidup, sedangkan tanah bisa berdiri sendiri. Itulah analogi dedengkot makhluk jahat yang dengannya ia menentang perintah langsung dari Allah, sudah sangat jelas sekali kebatilan dan kesesatannya.
Mari kita dengarkan nasehat ini, agar kita sadar: Apa yang terjadi pada saat marah? Setan menasihati: Setan, semoga Allah mengutuknya, berkata kepada Musa: “Waspadalah terhadap ketajaman, karena saya bermain dengan manusia besi seperti anak laki-laki bermain dengan bola.”
Dikutip dari Islamway.net, kemarahan memiliki tiga derajat:
1. Tingkat Moderasi (درجة الاعتدال)
Seseorang bisa marah untuk membela diri, agama, kehormatan, harta, atau untuk membela hak-hak publik dan mendukung mereka yang tertindas. Itulah kondisi yang memungkinkan bagi kita untuk marah. Jika tidak, bumi akan dirusak oleh penyebar kekacauan, kebencian, dan perusak tatanan sosial.
2. Tingkat Kealpaan (درجة التفريط)
Kemarahan turun di bawah tingkat moderasi, dengan melemahkan seseorang atau kehilangan akal. Situasi ini tercela dalam syariah dan rasionalitas. Karena barangsiapa tidak marah karena dirinya, agama, kehormatan, harta, atau karena kepentingan umum, maka dia adalah seorang pengecut yang tidak mengikuti hukum-hukum Allah dalam ciptaan-Nya. Dan dalam hal ini ada bahaya besar karena bisa menjadi sumber kekacauan dalam semua aspek kehidupan.
3. Derajat Berlebihan (درجة الإفراط)
Kemarahan yang melampaui batas moderat, dan mendominasi pikiran dan agama, dan bergegas menuju kejahatan secara terburu-buru yang dapat menyebabkan kehancuran dari tanpa diketahui. Mungkin juga kemarahannya dapat menyeretnya dari hal sepele untuk melakukan kejahatan besar atau dosa besar. Kemarahan dalam situasi ini secara hukum dan rasional tercela, dan secara umum kemarahan yang terpuji adalah apa yang ada untuk nilai dan prinsip diturunkan dari Kitab Allah dan Sunnah-Nya, dan itu adalah bukti kekuatan iman dan kemenangan untuk kebenaran.
Apa yang Dicintai Allah SWT dari Kita?
Rasulullah SAW berkata kepada Ashaj bin Qais: “Ada dua sifat dalam dirimu yang dicintai Allah: kesantunan dan kesabaran.” (إنَّ فيكَ لَخَصْلَتينِ يحبُّهُما اللَّهُ الحِلمُ والأناةُ) – (Muslim: 18)
Kesantunan dan kesabaran akan membuat Anda dekat kepada Allah SWT, dan tidakkah kita rindu untuk dekat dengan-Nya? Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, dari Ibnu Abbas RA:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْأَشَجِّ: إِنَّ فِيكَ لَخَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولهُ : الْحِلْمَ وَالأَنَاةَ. رواه مسلم
“Dari Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda kepada seseorang yang terluka pada kepalanya, sesungguhnya di dalam dirimu ada dua kebiasaan yang Allah dan Rasul-Nya mencintai keduanya, yaitu sifat santun dan sabar.” (HR.Muslim)
Dua sifat yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, yaitu sifat santun dan sabar. Sifat santun adalah cerminan diri seorang muslim dan merupakan perhiasan dalam jiwa. Dia memancarkan akhlak mulia sebagaimana pribadi Rasulullah yang sangat santun. Beliau tidak pernah bersikap dan bertutur kata kasar serta menyombongkan diri. Inilah yang membuat beliau menjadi seorang pemimpin yang karismatik dan menjadi panutan bagi kita semua.
Sifat kedua dalam hadis di atas adalah الأَنَاةُ yang bermakna pelan-pelan atau sabar. Maksud dari pelan-pelan adalah tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan pengertian sabar memiliki cakupan yang lebih luas. Sabar secara bahasa berarti mengekang dan menahan. Sedangkan sabar secara istilah adalah menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, sabar dibagi menjadi enam macam, yaitu: Sabar menerima cobaan hidup, sabar dari keinginan hawa nafsu, sabar dalam taat kepada Allah SWT, sabar dalam berdakwah, sabar dalam perang, dan sabar dalam pergaulan. Sifat sabar menempati posisi istimewa. Al-Qur’an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya, antara lain dengan keyakinan (QS.as-Sajdah: 24), syukur (QS.Ibrahim: 5), tawakkal (QS.an-Nahl: 41-42), dan taqwa (QS.Ali ‘Imran: 15-17). Sifat inilah yang tertanam dalam diri Rasulullah selama hidupnya. Allah SWT berfirman:
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya”. (QS. al-Furqan: 75).
Bagaimana Kemarahan Nabi SAW?
Nabi SAW tidak pernah marah pada dirinya sendiri. Dia tidak marah kecuali larangan Allah dilanggar. Nabi SAW memukul kepalanya dan mematahkan paha depan, dan dia berkata: “Ya Tuhan, ampunilah umatku, karena mereka tidak tahu.” (اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون) – (Bukhari : 3477)
Nabi Yusuf AS setelah apa yang terjadi dari saudara-saudaranya, dan setelah mereka tidak bermaksud menjauhkannya dari ayahnya, atau membunuhnya, dan setelah bertahun-tahun dia bertemu dengan mereka, lalu berkata kepada mereka, dalam Al-Qur’an:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ ٱلْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”.” (QS Yusuf: 92)
Mari kita renungkan situasi ini selama Perang Uhud. Para pemanah tidak mematuhi perintah Nabi SAW, dan terbunuh dalam pertempuran, sahabat terbaik Nabi. Setelah pertempuran berakhir, “Abu Sufyan bangkit dan berkata: Apakah ada Muhammad di antara orang-orang itu? Nabi SAW bersabda: Jangan jawab dia, Dia berkata: Apakah putra Abu Quhafa termasuk orang-orang? Dia berkata: Jangan menjawabnya, dan dia bertanya tentang Ibn Al-Khattab, lalu dia berkata: Orang-orang ini terbunuh. Nabi SAW bersabda, jangan menjawabnya. Mereka berkata: Apa yang kami katakan? Nabi SAW bersabda: Katakan, Tuhan lebih tinggi dan lebih besar. Abu Sufyan berkata: Kami memiliki kemuliaan dan Anda tidak memiliki kehormatan. Nabi berkata: Jawab dia. Mereka berkata: Apa yang kami katakan? Dia berkata: Katakanlah Allah adalah pelindung kami, dan tidak ada pelindung bagimu. Abu Sufyan berkata: Suatu hari pada hari Badar, dan perang adalah perdebatan.» (Bukhari: 4043).
Mari kita merenungkan ketika Nabi SAW menyuruh mereka untuk berbicara, dan ketika dia memerintahkan mereka untuk tidak menjawabnya, untuk belajar bahwa kapan kita harus marah, dan kepada siapa kita boleh marah, untuk agama Allah atau untuk diri kita sendiri?
Bagaimana kita berurusan dengan klien kita? Bagaimana menghadapi anak-anak dan keluarga? Kita melihat ibu-ibu yang marah pada anaknya, membakarnya atau menaruh cabai di lidahnya. Seharusnya kita tidak sedikit bergumul dalam kemarahan dan kejengkelan, agar dengan pertolongan Allah, kita bisa melahirkan generasi yang tidak cacat mental.
Mengapa banya anak-anak begitu kejam dan nakal? Dari para istri ada yang mengeluh tentang perilaku buruk suaminya yang cepat marah. Wahai para suami, apakah Anda melihat dari mana datangnya cinta jika kemarahan memasuki hidup kita? Bagaimana suami merasa damai ketika amarah memenuhi hati mereka? Apakah Anda pikir Anda berurusan dengan benda mati?
Jangan biarkan amarah menguasaimu dan renungkan apa yang dikatakan Rasul muliamu dari Abu Hurairah ra yang berkata: Rasulullah SAW berkata: “Manusia yang kuat bukanlah yang paling kuat dalam bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR Bukhari: 6114). (Aza)
Sumber: Islamway.net