Membaca Al-Qur’an atau shalawatan dengan menggunakan pengeras suara di masjid hanyalah sebuah tradisi di negara-negara berpenduduk Muslim, seperti Indonesia dan di Mesir. Tradisi ini, selain dimaksudkan untuk mengingatkan agar orang shalat, juga dianggap sebagai syiar Islam.
Tradidisi tilawah Al-Qur’an lewat pengeras suara ini biasanya dilakukan beberapa menit sebelum adzan untuk shalat subuh, shalat Jum’at, dan pada malam-malam selama bulan Ramadhan. Umumnya, beberapa masjid dan musala hanya memutar kaset di hari-hari biasa untuk mengingatkan akan masuknya waktu shalat.
Namun perkara ini kemudian menjadi masalah. Pada dasarnya, masalah ini datang bukan berdasar pada hukum mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an. Sebagian ulama menyebutkan bahwa perkara itu bid’ah. Sebagian lagi mengatakan tidak boleh karena hal demikian itu tidak dilakukan di zaman Nabi SAW dan para Sahabat.
Terlebih lagi menjelang adzan, di mana jamaah masjid biasanya mendirikan shalat-shalat sunnah. Orang yang membaca Al-Qur’an di sisi orang yang mendirikan shalat memang dianjurkan agar tidak mengeraskan suara, dengan maksud agar tidak mengganggu kekhusyuan orang lain yang sedang shalat. Maka, merendahkan suara saat mengaji sangat dianjurkan jika terdapat orang yang sedang shalat.
Adapun masalah yang datang terkait perkara ini adalah Keputusan Menteri Agama RI yang melarang penggunaan pengeras suara bagi masjid dan musala berkaitan dengan pembacaan Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama (SE Menag) No 05/2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Aturan ini secara jelas mengatur pelaksanaan ibadah Salat Tarawih dan Tadarus Alquran selama Ramadan.
Dalam aturan tersebut tertulis; ibadah Salat Tarawih ataupun Tadarus Al-Qur’an yang dilakukan pada bulan Ramadan diatur untuk tidak menggunakan pengeras suara luar masjid, melainkan menggunakan pengeras suara di dalam.
“Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan Tadarus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam,” bunyi surat edaran tersebut.
Beberapa penjelasan perlu direnungi mengenai keagungan Al Qur’an sebagai mukjizat dan kalam Allah SWT. Al-Qur’an yang mulia diturunkan untuk direnungkan dan dimahami maknanya. Nabi SAW memerintahkan kepatuhan terhadap Sunnahnya, dan memperingatkan agar kita tidak perlu melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diwajibkan dan dianjurkan dalam agama.
Dikutip dari ibn.jebreen.com, bacaan Al-Qur’an melalui pengeras suara sebelum salat Subuh, shalat Jum’at, atau di bulan Ramadhan memang tidak ada dasarnya, melainkan hanya tradisi di sebuah komunitas muslim. Kenapa tradisi? Karena amalan ini tidak terjadi dan tidak ada seorang pun dari para sahabat Nabi SAW yang melakukannya setelah Rasulullah SAW. Padahal, mereka adalah generasi yang terbaik dalam Islam. Jika ini baik, mereka pasti lebih dahulu melakukannya.
Al-Qur’an adalah kalam Allah Azza wa Jalla. Membacanya adalah ibadah fisik semata. Suara itu harus direduksi sampai tingkat yang menghilangkan bahaya. Selain dapat mengganggu orang yang tidur dan menyakiti orang lain, Islam melarang hal-hal demikian.
Ibn al-Jawzi RA berkata: “Iblis bersekongkol melawan sekelompok pembaca, sehingga mereka membaca Al-Qur’an di menara masjid pada malam hari dengan suara gabungan yang keras, satu bagian dan dua bagian di masjid.”
Bacaan dengan pengeras suara juga mengganggu orang yang ingin membaca Al-Qur’an di masjid secara individual, ketika pengeras suara dibuka. Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya tentang hal itu dan dia berkata: “Kami berpendapat bahwa tidak boleh meninggikan suara Al-Qur’an sebelum shalat Jumat jika qari membaca di mimbar, atau di atas mimbar, menara, atau di pengeras suara, karena membingungkan jamaah. Bacaan muazin di atas menara untuk pujian juga bid’ah, dan itu mengalihkan pembaca dari merenungkan Al-Qur’an, dan orang yang beribadah dari shalatnya.”
Berdasarkan hal tersebut, baik itu membaca puji-pujian, membaca Al-Qur’an, atau lainnya, semua itu tidak ada dasarnya dalam syariat. Adapun apa yang dikatakan sebagai zikir, jawabannya adalah apa yang dikatakan ulama Syekh Ibnu Utsaimin, ini adalah masalah yang diperbarui dan tidak memiliki dasar untuk itu, melainkan mengalihkan perhatian jamaah dari berzikir dan meminta ampunan.
Dikutip dari laman Bin Baz, sebuah pesan tiba pada program dari Republik Arab Mesir, dan dikirim oleh seorang bernama Majdi Mustafa Zaitoun. Dia menanyakan bahwa masjid-masjid di negaranya, membaca Al-Qur’an di masjid-masjid sebelum salat Subuh dan pengeras keras. Syekh Bin Baz menjawab, “Anda benar saudaraku, dan Anda telah menyetujui sunnah, segala puji bagi Allah, dan tidak peduli apa yang dikatakan orang. Jika fajar menyingsing, maka adzan. Alhamdulillah, adzan cukup, Cukuplah adzan. Adapun bacaan dari pengeras suara sebelum adzan di penghujung malam, tidak ada dasarnya, dan dapat membahayakan orang.”
Ringkasnya, kata dia, ini tidak halal. Baik Nabi SAW maupun para sahabatnya tidak melakukannya. Mereka tidak meninggikan suara mereka dengan Al-Qur’an seperti adzan sampai mereka membangunkan orang. Cukuplah shalat di zaman Nabi SAW dan para sahabatnya. Dia memperingatkan orang-orang dan mengajak mereka untuk sholat di masjid.
Pertanyaan kedua, di beberapa masjid di berbagai belahan dunia Islam, ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan dengan pengeras suara, sebelum salat Jum’at, jadi apa hukumnya? Bin Baz menjawab, “Kami tidak mengetahui dasar untuk itu, baik dari Kitab, maupun dari Sunnah, atau dari pekerjaan para sahabat, atau para pendahulu yang saleh. Ini dianggap sesuai dengan metode yang disebutkan di atas dari masalah yang diperbarui yang harus ditinggalkan.
Sumber: ibn.jebreen.com/ binbaz.org.sa