Indonesiainside.id, Jakarta – Serangan drone Amerika pada 2018 disebut Pentagon membunuh target-target teroris, namun beberapa keluarga di Libya menolak hal itu dan menyatakan yang tewas adalah 11 warga sipil. Mereka kini mengajukan tuntutan pidana atas kasus itu, termasuk juga terhadap komandan stasiun Angkatan Laut Italia atas perannya dalam melakukan serangan.
Anggota komunitas etnis Tuareg, dengan bantuan tiga kelompok hak asasi manusia (HAM), mengajukan tuntutan pidana pada Jumat lalu, menuduh komandan Stasiun Udara Angkatan Laut Italia Sigonella menggunakan kekuatan secara tidak sah menurut hukum internasional dan domestik Italia.
Menurut dokumen hukum yang dilihat oleh media The Intercept , orang-orang yang terbunuh sedang dalam perjalanan dari rumah mereka di Ubari, sebuah desa di barat daya Libya, menuju perbatasan Aljazair untuk membantu sesama anggota masyarakat dalam perselisihan atas peralatan konstruksi yang ditinggalkan.
“Sebelas korban bukan anggota Al Qaeda atau organisasi teroris lainnya dan bukan kombatan,” demikian bunyi pengaduan yang diajukan oleh Rete Italiana Pace e Disarmo, Reprieve, dan European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR).
“Pembunuhan ini, yang dilakukan di luar konflik bersenjata dan oleh karena itu memenuhi syarat sebagai operasi penegakan hukum ekstrateritorial, sangat bertentangan dengan peraturan Italia dan internasional tentang penggunaan kekuatan mematikan.”
Komando Afrika AS (Africom) telah mengakui serangan itu pada tahun 2018, tetapi mengklaim bahwa serangan itu menewaskan 11 “teroris Al-Qaeda di Maghreb” dan menilai bahwa “tidak ada warga sipil yang terluka atau tewas dalam serangan ini”. Africom tidak menanggapi permintaan media untuk memberikan komentar.
Madogaz Musa Abdullah, salah satu pengadu, mengatakan telah kehilangan saudaranya Nasser dalam serangan itu. Nasser berusia 34 tahun dan anggota angkatan bersenjata nasional dari Government of National Accord (GNA) yang diakui PBB.
“Africom membunuh orang yang tidak bersalah. Mereka mengklaim bahwa putra kami adalah teroris dan mengakhiri hidup mereka tanpa bukti. Kami ingin pemerintah Italia mendengarkan kami dan menghentikan Africom dari membunuh orang-orang kami,” kata Abdullah.
“Kami meminta kedua pemerintah untuk meminta maaf dan kepada pemerintah Italia untuk membuka penyelidikan yang transparan dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab untuk mengizinkan penyerangan.”
Menurut keluarga dalam pengaduan, 11 orang yang tewas dalam serangan itu adalah sekutu AS dan GNA. Beberapa juga anggota tentara nasional Libya dan telah berperang melawan kelompok-kelompok militan di negara itu.
Pengaduan tersebut meminta kantor kejaksaan di Siracusa, Sisilia, untuk menuntut komandan Italia di pangkalan udara AS di Sigonella, Sisilia, dan pejabat Italia lainnya yang terlibat dalam serangan itu.
Naval Air Station Sigonella memainkan peran penting dalam program drone AS. Sejak 2014, pemerintah Italia telah mengizinkan AS untuk melancarkan serangan ke Libya dari pangkalan itu. Serangan itu, bagaimanapun, harus terlebih dahulu disetujui oleh komandan Italia, yang memiliki tugas untuk mengawasi semua aktivitas penting AS, termasuk serangan pesawat tak berawak.
Meskipun ada janji berulang kali dari pemerintah Libya, tidak ada penyelidikan independen yang dilakukan terhadap serangan tersebut.
Dalam kejadian terpisah, sebuah surat yang dibagikan secara eksklusif dengan Middle East Eye bulan lalu, Senator Chris Murphy dan Elizabeth Warren mendesak Pentagon untuk membuka penyelidikan baru terhadap laporan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia bahwa 38 warga sipil Yaman – termasuk 13 anak-anak – tewas dalam 12 operasi AS antara 2017 dan 2019.
Militer AS sebelumnya menanggapi tuduhan tersebut dengan mengabaikan kematian warga sipil di semua kecuali dua insiden, dan selanjutnya menolak bahwa ada warga sipil yang terluka.(Nto)