Alam ghaib adalah kebalikan dari dunia nyata atau masa kini (dunia kesyahidan) dan kepercayaan pada yang gaib adalah karakteristik pertama dari orang-orang yang beriman, yaitu beriman pada yang gaib.
Dikatakan oleh Dr. Muhammad Qasim al-Mansi, profesor Syariah di Fakultas Darul Ulum sebagaimana dikutip dari Gate Ahram.com, salah satu rukun iman adalah percaya kepada yang ghaib. Alam gaib di sini bukan hanya ghaib dari alam tersembunyi seperti dunia malaikat, surga, dan neraka.
Bagi kehidupan manusia di muka bumi ini, ghaib adalah fakta dan peristiwa, seperti halnya kemenangan, rezeki, ampunan, dan kebebasan dari api neraka. Al-Qur’an diperlakukan dalam rangka merasionalkan gerak manusia dengan cara mencapai kebaikan dan menghindari rintangan pikiran dan perilaku, sebagaimana firman Allah SWT:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (QS Ar-Rum: 37)
Artinya, penyelamatan orang-orang yang beriman dan pertolongan kepada mereka merupakan kepastian dari Allah SWT. Allah SWT mengabarkan bahwasanya Dia memenangkan para Rasul dan pengikut mereka yang beriman kepada Allah dan menjalankan apa yang mereka diperintahkan.
Kemudian, di Surat Al-Ghafir (Al-Mukmin) ayat 51 dijelaskan:
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).”
Sedangkan ketentuan gaib dalam hal rezeki disebutkan dalam Al-Qur’an, Surat Az-Zariyat Ayat 22:
وَفِى ٱلسَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.”
Kemudian ada faktor gaib dalam hal kesembuhan, dijelaskan pada Surat Asy-Syu’ara’ Ayat 80:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.”
Hal-hal gaib lainnya dalam hal kedudukan di muka bumi ini, dijelaskan dalam Surat Al-Hajj Ayat 41:
ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ أَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُوا۟ بِٱلْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا۟ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلْأُمُورِ
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
Di Surat Al-Hajj ayat 41 ini, Allah SWT menyebutkan tanda orang yang menolong agama-Nya, dan dari sini dapat diketahui siapa yang menolong agama-Nya itu. Barang siapa yang mengaku menolong agama Allah, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf. Namun jika kenyataannya tidak memiliki sifat tersebut, berarti pengakuannya dusta.
Perhatikan masing-masing hal ghaib ini memiliki dua situasi dalam hal masa depan, yaitu masa depan yang dekat dan masa depan yang jauh. Masa yang dekat, itulah yang terjadi dalam kehidupan duniawi dan atas dasar akibat dari tindakan manusia. Misalnya, menang atau kalah, sukses atau gagal, takut atau aman.
Adapun masa yang jauh, itulah yang ada di sisi Allah di akhirat. Di bulan Ramadhan, seorang Muslim mengembalikan keseimbangan yang hilang antara “materi” yang telah ada dan masalah “ghaib” yang telah hilang.
Kemudian dia berlatih berurusan dengan yang ghaib setiap hari di bulan Ramadhan, maka dia berusaha dengan puasa, dalam artian berserah diri dari kesenangan sesaat (nilai material) untuk mencari keridhaan Allah SWT dan harapan untuk menang dengan rahmat, pengampunan, dan pembebasan dari neraka (nilai-nilai ghaib). Tanpa itu, puasa dan ibadah lainnya, tidak memiliki nilai.
Seorang muslim tidak akan mungkin menjadi orang yang taat kepastian pahala di masa depan yang jauh yakni untuk akhirat. Dari sini ia melaksanakan ibadah Ramadhan sebagai ritual untuk mencapai kepastian yang gaib. (Aza)
sumber: gate.ahram.org