Ramadhan telah tiba, dan kita telah melewati lebih separuh perjalanan. Kurang setengah perjalanan lagi, Ramadhan akan pergi. Karenanya, siapa pun yang beribadah hanya karena Ramadhan, maka Ramadhan akan pergi. Akankah kita tetap beribadah seperti bulan Ramadhan?
Jika ibadah hanya dilakukan karena datangnya Ramadhan, maka sama saja dengan beribadah sebagai hamba Ramadhan. Maka tak ada jaminan seseorang akan tetap menjaga ibadahnya, menjaga lisan, langkah, dan perbuatannya, seperti Ramadhan, di luar bulan Ramadhan. Karena itu, janganlah menjadi hamba Ramadhan. Jangan menjadi hamba bulan Sya’ban. Jangan menjadi hamba-hamba momentum, seperti momentum datangnya bulan Maulid, Isra’ Mikraj, tahun baru Islam, karena semua itu hanyalah momen dan suasana yang akan pergi, meski akan datang kembali.
Ulama salaf mengatakan tentang orang-orang yang beribadah di bulan Ramadhan, namun ketika Ramadhan usai, mereka tinggalkan ibadah tersebut. Maka dijawab dengan ungkapan yang sangat baik yaitu:
بئس القوم لا يعرفون الله إلا في رمضا
“Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah, kecuali di bulan Ramadhan.”
Bagaimana tidak dikatakan seburuk-buruk kaum. Mereka beribadah kepada Allah tetapi ukurannya hanya Ramadhan. Ukurannya hanya bulan-bulan haram, ukurannya hanya momentum perayaan hari-hari besar Islam lainnya. Di luar itu, apakah ada bekas yang bisa jadi bekal untuk tetap menjadi hamba-hamba Rabbaniyyan? Para ulama sering menasihatkan:
كن ربانيا ولا تكن رمضانيا
“Jadilah engkau hamba Allah Ta’ala, janganlah engkau menjadi hamba Ramadhan.”
Artinya, ketika Ramadhan pergi, mereka juga akan meninggalkan ibadah-ibadahnya yang tadinya khusyuk, menangis, dan waktu-waktunya dihabiskan berdua-duaan dengan Allah dalam setiap tadarrus dan shalat malamnya. Begitulah kondisi para hamba-hamba Ramadhan, hanya berbuat baik dan bahkan sadar, di bulan Ramadhan saja.
Sekali lagi, kita diingatkan: jangan menjadi hamba-hamba momentum, tetapi jadilah hamba-hamba Allah yaitu Ibadurrahman yang monumental. Di segala waktu, ruang, dan kesempatan. Ingat, ketika memasuki bulan syawal, para ulama sering kali mengutip pidato Abu Bakar RA tatkala Rasulullah ﷺ wafat yaitu:
فَمَنْ كَان َمِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ
“Barangsiapa yang menyembah Muhammad ﷺ, maka sesungguhnya Muhammad ﷺ telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allah sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan mati.” (HR Bukhari)
Dari perkataan Abu Bakar di atas mengingatkan, ingat, jika engkau menjadi hamba-hamba Ramadhan, Rajab, Syawal, dan lainnya, semua itu akan pergi. Namun, jadilah hamba-hamba Allah, Ibadurrahman, hamba-hamba yang terpilih menjadi kekasihnya karena ibadah-ibadahnya hanya kepada Allah SWT, bukan tergantung pada situasi, kondisi, dan memontum. Jadilah hamba-hamba Allah, Ibadurahman, di semua situasi, kondisi, dan memontum. Allah Ta’ala SWT berfirman:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al-An’am: 162)
Camkan dan katakanlah! Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah SWT di semua kondisi, situasi, dan momentum. Shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, di atas iman dan Islam di mana pun saya berada, di masjid atau di kantor, di rumah atau di jalan, saat susah atau senang, saat sendiri atau di keramaian, yaitu di segala medan selama hayat di kandung badan.
Selama masa-masa di bulan Ramadhan ini, kita memang harus terbiasa tidak alpa sedikit pun dalam menjaga ibadah, menjaga perilaku, menjaga langkah, hati, lidah, dan pandangan. Namun, niatkan dan kuatkan komitmen untuk tidak hanya melakukannya di bulan Ramadhan saja. Karena Ramadhan adalah bulan pelatihan yang sekaligus menjadi masa-masa panen pahala, namun jangan sampai kembali ke masa krisis dan paceklik setelah Ramadhan.
Fa-madza ba’da Ramadhan? Lalu, apa setelah Ramadhan nanti berlalu? Pegang dan rengkuh semua kebaikan untuk 11 bulan mendatang hingga Ramadhan datang kembali jika kita diberi usia panjang. Jika pun kita harus pergi seiring datangnya ajal, kita sudah punya bekal yang telah dipegang dengan teguh, tak pernah alpa, dan tak tercecer sedikit pun sejak Ramadhan ini.
itulah kelak yang menjadikan hidup high-class kita, mati dalam keadaan husnul hatimah, mati dalam keadaan Islam, karena kita memilih gaya hidup Islam, bangga dengan Islam, berkat Ramadhan tahun ini. Wallahu A’lam. (Aza)