Indonesiainside.id, Ottawa – Seorang mantan napi penjara Guantanamo Amerika Serikat, menggugat pemerintah Kanada karena menjadi penyebab penahanan dirinya. Kanada telah membuat Mohamedou Ould Slahi menghabiskan 14 tahun di penjara tanpa pengadilan.
Pria berusia 51 tahun itu mengatakan, Pemerintah Kanada menyampaikan informasi palsu tentang dirinya ketika dia menjadi penduduk tetap di Montreal pada tahun 1999. Hal ini setelah Pemerintah Kanada memaksanya untuk mengaku mengetahui plot pengeboman di Los Angeles.
Informasi menyesatkan itu kemudian menyebabkan penangkapannya pada tahun 2001 di Mauritania, di mana dia akhirnya terpaksa harus mengalami “penyiksaan dan penghinaan” yang membuatnya dipindahkan ke Yordania, Afghanistan, dan kemudian Guantanamo sebelum dia dibebaskan pada tahun 2016, lansir AFP mengutip isi gugatannya.
Pria asal Mauritania itu mengaku, selama dipenjara di Guantanamo sejak 2002 menerima pemukulan fisik, larangan tidur, berdiri secara paksa, kebisingan yang tak henti-hentinya, serangan seksual, diancam ditembak mati, ancaman pembunuhan, penghinaan agama, dan banyak lagi.”
“Penahanan dan penganiayaan Slahi diperpanjang karena keterlibatan otoritas Kanada,” kata pengacaranya.
Slahi menggugat pemerintah Kanada dengan dana kompensasi sebesar 35 juta dolar Kanada atau USD28 juta.
Sebelumnya, kisah Mohamedou Ould Slahi yang dituangkan dalam buku menjadi best seller dan diangkat ke layar film. Film dokumenter yang berjudul The Mauritania itu secara akurat menggambarkan kondisi ekstrim di pangkalan Amerika Guantanamo.
Guantanamo, yang pada puncaknya menahan lebih dari 700 narapidana, identik dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah AS atas nama perang melawan terorisme.
PBB juga mendesak AS untuk bertindak sesuai janjinya untuk menutup pusat penahanannya di Teluk Guantanamo Kuba.
“Dua puluh tahun melakukan penahanan sewenang-wenang tanpa pengadilan disertai dengan penyiksaan atau perlakuan buruk sama sekali tidak dapat diterima oleh pemerintah mana pun, terutama pemerintah yang memiliki klaim untuk melindungi hak asasi manusia,” kata para pakar PBB.
Dalam 20 tahun terakhir, penjara yang terkenal buruk itu kemudian dikenal sebagai simbol pelanggaran hak asasi manusia AS. Banyak tahanan – kebanyakan pria Muslim – disiksa atau ditahan selama bertahun-tahun tanpa dakwaan.
Janji Washington untuk menutup situs itu kembali ke masa jabatan pertama mantan Presiden Barack Obama antara 2009 dan 2013. Obama telah menjadikan penutupan Guantanamo sebagai salah satu prioritas utamanya dan mengeluarkan perintah eksekutif untuk melakukannya segera setelah menjabat pada 2009.
Namun, ia gagal mencapai tujuan itu pada akhir masa jabatan keduanya karena menghadapi tentangan keras di Kongres. Penggantinya, Donald Trump, membatalkan perintah Obama untuk menutup Guantanamo.(Nto)