Id atau ied berasal dari kata al-iid, berasal dari kata “aada-yauudu” dalam bahasa Arab, artinya kembali. Lalu, apa makna Idul Fitri dan hari raya dalam Islam?
Al-Azhari berkata, bagi orang Arab, Idul Fitri adalah saat kembalinya suka dan duka. Sementara Ibn Al-Arabi berkata, Idul Fitri adalah kembali setiap tahun dengan kegembiraan baru. Adapun Al-Saffarini mengatakan, disebut hari raya karena ada optimisme sehingga akan kembali lagi.
Idul Fitri artinya “Hari Raya berbuka Puasa”. Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa. Sedangkan “Fitrah” tulisannya sebagai berikut (فطرة ) dan bukan (فطر)”. Datang dari hadits yang menerangkan bahwa Idul Fitri ialah “Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa”.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ : أَنْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلصَّوْمُ يَوْمُ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Dari Abi Hurairah (ia berkata): Bahwasanya Nabi SAW telah bersabda: “Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adha (yakni hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan“.
Jika kita tilik dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith, ‘id atau ied adalah suatu perkara penting atau sakit yang berulang, bisa juga sesuatu yang berulang tersebut adalah sesuatu yang dirindukan dan semacamnya. Id juga berarti setiap hari yang terdapat perayaan di dalamnya. Sedangkan fitri berasal dari kata ‘afthara’ yang berarti memutuskan puasa karena melakukan pembatalnya.
Jadi fitri di sini dimaksudkan dengan hari setelah Ramadhan, di mana tidak berpuasa lagi. Hal ini berbeda dengan kata fithrah (fitrah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang dalam bahasa Arab bermakna sifat asli atau watak asli. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, hal. 727-728)
Dari sisi bahasa, Idul Fitri saja bukan berarti kembali suci. Jika kita melihat kembali dalam kitab-kitab fikih, tidak pernah dijumpai makna demikian. Lalu kapan kembali suci?
Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.” (Dibawakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Latho-if Al Ma’arif, hal. 373-374).
Perkataan ini seakan-akan membenarkan yang dimaksud kembali suci. Namun bukan karena kita sekedar berjumpa dengan Idul Fithri, lalu kita kembali suci. Perkataan ini dimunculkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali karena begitu banyaknya pengampunan di bulan Ramadhan dari amalan yang kita lakukan.
Mulai dari amalan puasa, shalat malam (shalat tarawih), menghidupkan lailatul qadar, juga permohonan maaf yang kita minta pada Allah. Itulah yang menyebabkan seolah-olah kita keluar dari bulan Ramadhan seperti bayi yang baru lahir.
Namun perkataan di atas bukan ditujukan pada orang yang tidak shalat atau shalatnya bolong-bolong di bulan Ramadhan, bukan bagi orang yang tidak puasa, bukan bagi orang yang malas shalat tarawih, bukan bagi orang yang malas menghidupkan lailatul qadar atau enggan mencari permintaan maaf atas dosa di hari-hari terakhir Ramadhan. Meski demikian, Idul Fitri bukan berarti kembali fitri atau suci dengan menggunakan argumen di atas.
Hari Raya
Hari-hari raya sudah tua di kalangan manusia. Mereka telah mengenalnya sejak mereka mengetahui pertemuan, tradisi dan kenangan, dan hari-hari raya di negara-negara pra-Islam sepanjang zaman. Hari raya di kalangan umat manusia dahulu ditandai dengan hiburan, permainan, amoralitas, pergaulan bebas, ritual aneh, dan ritual pagan Jahiliyyah, di mana perang berhenti, dan orang-orang aman sesuai dengan adat dan tradisi mereka.
Sejak zaman kuno, manusia telah memilih hari-hari di mana ia bersantai dari kelelahan dan berhenti bekerja untuk memperbarui aktivitasnya dan memulihkan vitalitasnya. Maka lahirlah hari raya. Hari-hari raya ini ditandai dengan hari-hari yang dikenal dalam setahun. Hari-hari raya itu kembali setiap kali hari-hari itu kembali.
Suatu bangsa bangsa-bangsa puas menjadi orang luar pada orang lain pada hari rayanya, dan tidak pantas bagi suatu bangsa atau sekelompok orang, betapapun mereka melupakan kepribadian mereka, dan mengabaikan identitas mereka sendiri, untuk meniru bangsa lain dan bergabung dengan mereka dengan mengambil apa yang menjadi karakteristik dan komponen mereka.
Hari raya Idul Fitri tentu bukan dalam arti hari raya di masa-masa lampau tersebut karena Islam datang memberikan penerangan dan jalan yang lurus. Dengan begitu, luruskanlah pemaknaan hari raya bagi kita ummat Islam. (Aza)