Hati adalah rumah. Tempat bermukimnya kebaikan dan juga keburukan. Jika ia baik, maka baiklah dunia dan akhirat pemiliknya. Jika rusak, maka ia pun akan membinasakan pemiliknya.
Hati yang baik adalah rumah keimanan, tempat kejujuran, ketulusan, keikhlasan, kesabaran, dan kasih sayang. Karena amalan iman seperti ketakutan (khauf), harapan (rojaa’), pertobatan, kepercayaan, cinta, dan rahasia, datangnya dari hati. Maka tidak salah jika disebut bahwa ibadah yang sesungguhnya adalah amalan hati.
Allah SWT menjadikan penerimaan dan keutamaan amalan menurut apa yang ada di hati yang ikhlas. Jika hati dikosongkan dan amalnya rusak, maka amal itu akan dikembalikan kepada pemiliknya. Lalu berapa banyak orang yang berdiri tidak memiliki apa-apa dari shalatnya kecuali hanya gerakan dari berdiri, rukuk, dan sujud? Banyak orang yang berpuasa juga tak memiliki apa-apa kecuali lapar dan haus.
Baiknya keadaan manusia di dunia dan akhirat hanyalah karena kebaikan hubungan mereka dengan Allah Azza wa Jalla, sebagaimana rusaknya dunia dan akhirat mereka juga disebabkan oleh rusaknya hubungan antara mereka dan Allah. Firman Allah SWT:
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy-Syura: 30)
Menurut As-Sa’di, Allah mengabarkan bahwa apa pun musibah yang menimpa hamba-hamba-Nya, pada jasad, harta, anak-anak, dan pada apa saja yang menimpa mereka terhadap sesuatu yang cintai, adalah akibat dosa-dosa yang mereka lakukan sendiri. Sesungguhnya yang dimaafkan oleh Allah lebih banyak dari itu (jumlah musibah yang ditimpakan).
Sebab, sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya, akan tetapi diri mereka sendiri yang menzhalimi diri mereka sendiri. “Jikalau Allah menghukum manusia karena kezhalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan,” (QS An-Nahl: 61)
Pakar fiqih dan tafsir Syekh Prof Dr Wahbah az-Zuhaili mengatakan berkaitan dengan Surat Ali ‘Imran Ayat 165, ketika kaum muslimin ditimpa musibah pada perang Uhud dengan terbunuhnya 70 orang, padahal mereka telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuh Islam pada peperangan Badar. Kaum muslimin saat itu berkata: “Darimana datangnya kekalahan ini? Dan rasul juga bersama kami”
Mereka diperingatkan dalam Al-Qur’an:
أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Surat Ali ‘Imran: 165)
Perhatikan ayat ini: “Katakanlah kepada mereka wahai Nabi, ‘Itu bersumber dari kesalahan dirimu sendiri yaitu karena tidak taat dan membangkang perintah’”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu atau pun segala keadaan. Ayat ini turun sebagai akibat dari orang-orang muslim atas perbuatan mereka pada perang Uhud, para pemanah meninggalkan pos mereka di atas gunung dan membangkang atas perintah pemimpin perang yaitu Nabi.
Ingat bahwa hubungan antara manusia dengan Allah SWT hanyalah hubungan kebaikan, sesuai dengan kebaikan hati dan keterikatannya kepada Allah SWT. Sementara kerusakannya disebabkan karena jauh hati manusia kepada Tuhannya. Karenanya, setiap kali terasa sesak di dada, kurangnya rezeki, atau khawatir dan tertekan dalam diri Anda, katakan kepada hati Anda: “Ini dari dirimu sendiri.” Bahasa Qur’annya: (هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ)
Ini juga yang diyakini oleh Al-Hasan Al-Basri Rahimahullah ketika diajak ikut serta dalam sebuah pemberontakan. Beliau menolak seraya memberikan nasihat mulia yang patut menjadi bahan renungan. Beliau menasihatkan:
يا أيها الناس! إنه والله ما سَلَّط الله الحجاج عليكم إلا عقوبة، فلا تعارضوا عقوبة الله بالسَّيف، ولكن عليكم السَّكينة والتضرُّعَ
“Wahai manusia! Sesungguhnya demi Allah, tiadalah Allah menjadikan Al-Hajjaj berkuasa atas kamu melainkan sebagai hukuman. Maka janganlah kamu melawan hukuman Allah dengan pedang, akan tetapi hendaklah kamu tenang dan tunduk merendahkan diri (bertaubat kepada Allah).” (Riwayat Ibnu Sa’ad dalam “Ath-Thabaqat” 7/164)
Dalam redaksi lain, Al-Hasan Al-Basri Rahimahullah berkata:
:إن الحَجَّاج عذابُ الله، فلا تدفعوا عذاب الله بأيديكم، ولكن عليكم بالاستكانة والتضرع ”فإن الله تعالى يقول
“{وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ}
“Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah azab Allah, maka janganlah kamu melawan azab Allah dengan tangan-tanganmu, akan tetapi hendaklah kamu tunduk kepada Allah, dan memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.” (QS. Al-Mukminun: 76)
Redaksi lainnya menyebutkan, Hasan Al-Bashri berkata:
إن الحجاج عقوبة من الله، ولن تغير عقوبة الله بالسيف، ولكن توبوا إلى ربكم: إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
“Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah hukuman dari Allah, dan hukuman Allah tidak akan diubah dengan pedang, tetapi bertobatlah kepada Tuhanmu: “Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Aza)