Indonesiainside.id, Kiev – Dua warga negara Amerika yang berperang untuk Ukraina mengatakan kepada media Rusia, RT.com, bahwa mereka menyerah kepada pasukan Rusia setelah ditinggal kabur oleh komandan Ukraina.
Alexander Drueke dan Andy Huynh berbicara kepada RT dari pusat penahanan di Republik Rakyat Donbass, sehari setelah The Daily Telegraph melaporkan bahwa mereka telah ditawan. Mereka mengimbau kepada veteran lainnya untuk berpikir dua kali sebelum ikut terjun ke perang Ukraina.
Surat kabar Inggris menggambarkan mereka sebagai warga negara Amerika pertama yang ditangkap saat berperang untuk Ukraina, dan Washington telah berjanji untuk membawa mereka kembali.
Alexander Drueke adalah mantan Angkatan Darat AS yang pernah ditugaskan di Irak sementara Huynh bekerja di bidang logistik untuk Korps Marinir di Okinawa, Jepang. Mereka ditangkap hanya beberapa jam setelah dikirim ke garis depan dekat Kharkov minggu lalu. Di bawah komando polisi rahasia Ukraina, SBU, Huynh mengatakan bahwa mereka dikirim untuk membantu pertahanan Ukraina.
Huynh menyebutkan bahwa Dia dipersenjatai dengan senapan CZ Ceko dan peluncur Rocket-Propelled Grenade (RPG). Namun, pasukan militer Ukraina malah mundur dari titik di mana mereka ditempatkan, diikuti oleh kendaraan lapis baja.
“Ketika [tank] menembak pertama kali, saya sedang menyiapkan RPG saya,” kata Huynh.
“Saya memanggul senjatanya dan menembakkan roket ke kendaraan itu (Rusia), tetapi meleset. Kemudian saya lihat pasukan Ukraina kabur dari posisi sehingga memaksa kami lari dan bersembunyi di lubang selokan,”.
“Kami kemudian dilewati oleh patroli Rusia dan segera menyerah kepada mereka,” katanya.
Saat ini di penahanan, Drueke dan Huynh menghadapi ancaman hukuman setimpal. Pekan lalu, Republik Rakyat Donetsk yang bersekutu dengan Rusia menjatuhkan hukuman mati terhadap tiga pejuang asing yang ditangkap dalam pertempuran di Mariupol, termasuk dua warga Inggris.
Pengadilan tinggi republik memutuskan bahwa mereka adalah tentara bayaran dan dengan demikian tidak diberikan hak istimewa yang akan dinikmati oleh tawanan perang biasa di bawah hukum internasional.
Drueke, yang meninggalkan militer AS pada 2014, awalnya berangkat ke Ukraina tanpa rencana yang jelas. Dia terbang ke Polandia dengan tujuan melakukan pekerjaan kemanusiaan, namun membawa perlengkapan militer dan mengatakan bahwa ia siap untuk berperang.
“Kini saya tidak percaya lagi pada liputan media Amerika, setelah tahu kondisi di lapangan. Media-media itu menggambarkan perjuangan Ukraina secara salah dan membuat veteran seperti kami bersimpati untuk datang,” kata Drueke.
Sementara Huynh mengatakan bahwa Dia melakukan perjalanan ke Ukraina pada bulan April dan diminta membantu bagian kemanusiaan, tetapi kemudian membuat kontak di ‘Legiun Internasional’ (tentara bayaran) Ukraina. Setelah bergabung dengan legiun, Huynh memutuskan keluar karena banyaknya praktik korupsi dan disorganisasi di dalam organisasi itu.
“Para komandan sangat korup dan pasukan sangat tidak siap,” katanya.
Kedua pria tersebut kemudian mencari unit yang lebih kompeten untuk bergabung, sebelum berakhir di ‘Task Force Baguette’ di Ukraina timur, unit tentara bayaran asing yang sebagian besar terdiri dari veteran Amerika dan Prancis. Unit tersebut mengkonfirmasi pada hari Rabu bahwa Drueke dan Huynh telah ditangkap.
“Menonton propaganda dari Barat, dikatakan betapa mulianya seluruh Ukraina, dan ketika saya datang ke sini saya melihat betapa tidak benarnya itu,” kata Huynh kepada RT.
“Orang-orang Ukraina mengatakan mereka yang terbaik, tetapi dari apa yang saya lihat, saya telah melihat banyak korupsi,” tegasnya.
Drueke mengakhiri wawancaranya dengan peringatan. “Rekan veteran seperti saya yang berpikir untuk datang: saya tegaskan jangan!.”(Nto)