Indonesiainside.id, Moskow – Tiga orang terluka dan tujuh hilang menyusul dugaan serangan Ukraina terhadap anjungan pengeboran di lepas pantai Krimea.
“Tiga luka-luka dan lainnya hilang,” kata kepala wilayah Rusia, Sergey Aksyonov, pada Senin (20/6) dilansir RT.com.
Sebelumnya, dia mengatakan bahwa tiga serangan rudal menghantam tiga rig terpisah milik Chernomorneftegaz, sebuah perusahaan yang mengembangkan ladang minyak dan gas lepas pantai.
“Sejauh ini, 94 orang telah dievakuasi. 15 prajurit tetap menjaga platform pengeboran yang beroperasi. Sayangnya, informasi tentang 3 terluka dan 7 hilang telah dikonfirmasi, ” kata Aksyonov dalam sebuah pernyataan.
Dia menekankan bahwa operasi pencarian akan terus berlanjut dan pemerintah daerah akan menghubungi keluarga dan teman-teman yang hilang dan terluka.
Sementara itu, Komite Investigasi Rusia telah membuka kasus pidana terkait dengan penembakan tersebut.
Menurut pernyataan komite, “ personel militer Angkatan Bersenjata Ukraina menargetkan platform menara produksi gas <…> menggunakan senjata dengan sifat merusak yang tinggi.”
Jumat lalu, perwakilan presiden Ukraina untuk Krimea, Tamila Tasheva, mengatakan bahwa Ukraina sekarang mengandalkan sarana militer dalam hal apa yang disebutnya “merebut kembali” Krimea.
Pernyataan Tasheva muncul sehari setelah Menteri Pertahanan Ukraina Alexey Reznikov mengatakan bahwa Kiev, dengan menggunakan senjata yang dipasok AS, akan ” membebaskan ” semua tanah yang hilang dari Rusia, termasuk Krimea.
Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bersumpah untuk “ membebaskan ” Republik Rakyat Krimea dan Donetsk (DPR) dan Lugansk (LPR), yang diakui oleh Rusia sebagai negara merdeka.
Di sisi lain, pasukan Ukraina telah kehilangan sebagian besar wilayah dan personelnya di Donbass, bahkan ketika negara-negara Barat memasok senjata yang lebih canggih ke Kiev.
Rusia menyerang negara tetangga itu pada akhir Februari, menyusul kegagalan Ukraina untuk mengimplementasikan persyaratan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan akhirnya pengakuan Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk. Protokol yang diperantarai Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS. (Nto)