Setelah lembaga donasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang dipelesetkan berbagai kalangan menjadi ‘Aksi Cepat Tajir’ mencul di permukaan, istilah filantropi menjadi trending topic di berbagai kalangan, terutama di lingkaran media, baik mainstream maupu media sosial.
Masalah tersebut terangkum dalam hasil investigasi sekaligus framing ‘Majalah Tempo’ edisi 2 Juli 2022, berjudul ‘Kantong Bocor Dana Umat’ yang membuka kotak pandora berbagai persoalan yang dialami salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia tersebut. Karena itu perlu mendudukkan makna filantropi dengan adil dan benar.
Istilah filantropi jika ditelusuri dari asal-muasal katanya, berasal dari bahasa Latin yang berawal dari dua kata, ‘philan-thropia’, atau dari bahasa Yunani, ‘philan-tropos’, disebut juga philan tropos. Makna dasarnya adalah, philo berarti mencintai dan antropos berati manusia. Jika dipadukan, maka artinya menjadi ‘mencintai manusia’ atau ‘saling mengasihi sesama manusia’.
Jelas bahwa asal kata filantropi bukan dari bahasa Arab, bukan pula istilah syariat. Lalu, bagaimana kedudukan filantropi dalam Islam? Serta bagaimana syariat dan undang-undang mengatur filantropi? Dan siapa saja yang berhak mengelola lembaga filantorpi islami?
Sebagaimana makna awal dari filantropi adalah cinta terhadap sesama manusia, dan cinta pasti terkait dengan pemberian, baik pemberian dalam wujud materi maupun nonmateri. Jadi jelas salah jika filantropi hanya sebatas berbicara soal materi dan nominalnya. Secara umum, filantropi islami dibagi menjadi dua kategori, yakni wajib dan sunnah. Ada pun filantropi wajib meliputi: zakat, kafarah, nazhar, sedekah maupun infak wajib dalam kondisi tertentu. Ada juga sunnah seperti: wakaf, hibah, wadi’ah hingga sedekah dengan makna infak.
Filatropi islami berbeda dengan yang selainnya. Sebab diikat dengan syariat. Tidak semua harta bisa dikeluarkan baik yang wajib maupun sunnah. Ada ketetapan khusus, misalnya harta tersebut harus yang baik-baik. Dalilnya, Firman Allah dalam surah Al-Baqarah[2]:276. Orang beriman diperintahkan untuk berzakat dan atau berinfak dari harta yang baik-baik dari hasil kerja mereka, ‘anfiquu min thayyebatin ma kasabtum’. Jika memahami naskah secara terbalik ‘mafhum mukhalafah’, maka segala bentuk uang atau harta yang didapatkan melalui pekerjaan haram dan atau barang haram, atau cara-cara terlarang sudah pasti haram hukumnya dikeluarkan baik itu untuk zakat, infak, sedekah, kafarah, nazar, hibah, wakaf, warisan, hingga washiat.
Hasil penjualan narkoba, segala bentuk khamar, barang yang tidak jelas (gharar), daging babi dan turunannya, jual beli anjing, saham perusahan miras, dan sejenisnya adalah tidak boleh. Demikian pula, hasil dari pekerjaan haram seperti pelacuran, perdagangan manusia, atau mendapatkan harta dengan cara-cara haram seperti mencuri, merampok, menipu, korupsi dan semisalnya tidak bisa dijadikan harta filantropi islami.
Agama memerintahkan dan menganjurkan untuk beribadah dengan media harta. Karena itu harus didahului dengan pengetahun. Tidak boleh asal-asalan, ibadah harta pun harus dipahami syarat-syarat yang ditetapkan syariat dan undang-undang. Di Indonesia, zakat sudah resmi diatur oleh negara. Sejak era Presiden BJ. Habibie, tahun 1999, pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. Karena belum sempurna, maka di zaman Presiden SBY, negara kembali mengeluarkan Undang-Undang RI, Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang disingkat ‘Badan Amil Zakat Nasional’ atau ‘Baznas’ dari pusat ke daerah, juga dibolehkan membentuk LAZ dengan syarat tertentu. Lalu diperlengkap dengan Peraturan Presiden Nomor 14/ 2014, Inpres Nomor 3/2015. Bahkan tidak sedikit Peraturan Daerah yang terbit untuk memperkuat undang-undang zakat tersebut.
Zakat merupakan salah satu bagian dari filantropi islami, diatur dengan baik dalam Undang-Undang nomor 23/2011. Dijelaskan bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam; bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat; dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai syariat Islam. Selanjutnya, pada Pasal 2, termaktub dasar pengelolaan zakat yaitu, harus sesuai syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas. Sedangkan maqashid syariah yang dimaksud dalam pengelolaan zakat dilihat pada Pasal 3, bahwa pengeloaan zakat bertujuan untuk “meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan”. Hanya yang paham aturan ini berhak masuk menjadi pegiat filantropi islami.
Jubah agama
Aksi Cepat Tanggap adalah salah satu lembaga filantropi berskala nasional yang selama ini telah banyak memberikan manfaat kepada umat. Lebih khusus terkait penanganan bencana, dahulu, mereka dianggap memiliki respon lebih cepat dibandingkan dengan lembaga filantropi lainnya, namun saat ini, sudah banyak lembaga filantropi yang lebih sigap, termasuk Baznas. ACT bukanlah lembaga zakat melainkan Lembaga Kemanusiaan Swadaya Masyarakat yang berdiri sejak 21 April 2005.
Kini, ACT juga memiliki lembaga zakat resmi, Global Zakat. Lembaga ini resmi terdaftar sebagai Lembaga Amil Zakat (Laznas) dalam SK Menteri Agama RO No. 731 Tahun 2016. Global Zakat berfokus dalam pengelolaan zakat baik di tanah air maupun mancanegara. Global Zakat seringkali dipromosikan oleh ACT di berbagai platform lembaga itu.
Karena ACT bukan lembaga amil zakat maka ketentuan tata kelolanya diatur Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan yang menyatakan bahwa sumbangan dari publik yang boleh diambil maksimal 10 persen. Di sinilah yang dianggap ada masalah, sebab dana yang terkumpul di ACT mencapai Rp500 miliar per tahun sehingga gaji para petingginya, katakanlah owner atau pendiri ACT bergaji hingga Rp250 juta per bulan.
Jika merujuk pada Keputusan Ketua BAZNAS RI, No. 24/2018. Pedoman Manajemen Amil tingkat provinsi dan kabupaten. Dijelaskan pula secara detail hak keaungan pimpinan hingga remunerasi para amil. Misalnya untuk Pimpinan Baznas Kabupaten hingga Provinsi maksimal lima hingga enam kali UMR setempat, untuk pengurus Pusat, boleh merujuk pada besaran gaji Pimpinan Baznas RI yang jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat UMR per bulan. Nominal itu, setidaknya dapat dijadikan acuan untuk lembaga zakat di luar Baznas. Memang para amil, baik Baznas maupun lembaga zakat swasta dalam hal penggunaan hak amil, sangat tergantung dengan jumlah pengumpulan. Sebab, dibolehkan menggunakan dana zakat yang terkumpul maksimal 12,5 persen, bahkan dalam keadaan darurat, dana infak dapat digunakan maksimal 20 persen. Artinya makin banyak dana terkumpul juga makin banyak hak amilnya. Jika saja sebuah lembaga zakat mampu mengumpulkan zakat dan infak sebesar Rp500 miliar per bulan, maka hak amilnya tentu sangat banyak. Bahkan gaji pengurusnya bisa ratusan juta, dan itu sah secara syariat dan hukum positif. Hanya saja itu dipandang tidak patut dan tidak etis.
Di sinilah pentignya ilmu fikih kepatutan. Bisa saja, dengan pengumpulan ZIS mencapai Rp500 miliar dengan gaji Rp250 juta untuk satu amil tidak melanggar syariat dan undang-undang pengelolaan zakat, tetapi dalam perspektif adab dan kepatutan itu sangat biadab dan tidak patut. Dan penting, memahami nilai-nilai kemanusiaan bagi yang bergelut pada ranah filantropi. Sangat kurang ajar jika dana-dana recehan yang dikumpulkan oleh lembaga sosial, berasal dari golongan sosial terendah, pemulung, kelas buruh, tukang ojek, pedagang kaki lima, mereka kemungkinan besar orang-orang kategori miskin, namun punya semangat berbagi demi mengharap pahala, dan pembuktian akan keimanan mereka. Sayangnya, setelah terkumpul dengan jumlah fantastis justru dimakan oleh para pegiat filantropi secara tidak etis dengan gaji fantastis.
Jika para penggiat filantropi tidak memahami makna kemanusiaan, maka jelas itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan asal-muasal munculnya filantropi itu sendiri. Solusinya harus kembali kepada aturan bahwa ada dasar-dasar pengeloaan dana filantropi islami. Jangan sampai menggunakan jubah agama lalu menjual agama demi kepuasan golongan tertentu tanpa peduli ketetapan agama. Karena itu, Badan Amil Zakat Nasional sebagai rujukan lembaga filantropi islami, sejak awal memperjelas pengelolaan dana umat dengan ‘tiga aman’: aman syariah, aman regulasi, dan aman NKRI.
Yang pertama karena zakat adalah ibadah maka harus merujuk pada ketentuan syariat, yang kedua karena zakat di Indonesia sudah diintervensi negara, maka harus pula merujuk pada ketetapan undang-undang pengeloaan zakat, dan yang ketiga, zakat, infak, sedekah harus menjadi bagian dalam membangun nasionalisme atau instrumen penting yang mampu menyatukan nilai-nilai religius dan nasionalis pada diri umat Islam Indonesia. Wallahu A’lam.
Enrekang, 25 Juli 2022.