9 Buah Cinta kepada Allah: Ridha pada Ketetapan-Nya (1
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (QS [2]: 165)
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Siapa yang tidak suka pada sesuatu, maka dia pasti tak mungkin mau mendekatinya. Dengan mendekatinya, berarti dia telah menempuh sarana atau perantara untuk mencintainya. Sedangkan dengan mencintai perantara itu, berarti dia telah mencintai yang dituju.” (At-Tuhfah al-Iraaqiyyah, hlm 51)
Betul, banyak jalan untuk menyatakan rasa cinta. Namun dalam hal agama, maka ada koridornya. Juga unsur lain sebagai pendukung utama agar cinta itu tidak melenceng. Dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan ber-ittiba’ (mengikuti) pada Sunnah Nabi SAW, unsur dimaksud adalah raja’ (penuh harap) dan khauf (takut) kepada Allah SWT.
Takut atau khauf dan raja’ atau mengharap hanya kepada Allah, sudah semestinya berjalan beriringan bagi orang-orang yang mencintai Allah SWT. Yaitu meninggalkan apa yang ditakutkan demi mencapai cinta-Nya serta hanya berharap kepada Allah untuk menggapai rahmat dan ridha-Nya.
Berikut adalah sembilan buah manis dari kecintaan kepada Allah SWT, akan disarikan secara berseri. Penjelasan ini dikutip dari buku Aku Rindu pada Allah (Kaifa Nuhibbullah wa Nasytaqi ilaihi), karya Dr Majdi Al Hilali.
Yang pertama adalah ridha pada taqdir atau ketentuan Allah SWT. Jika seorang hamba menyadari betapa besar cinta Allah SWT terhadap dirinya, tentu ia akan selalu ikhlas menerima semua ketetapan atau taqdir dari Allah SWT.
Sang hamba akan meyakini bahwa ketetapan Allah SWT tersebut adalah kebaikan baginya, kondisi apapun yang sedang dihadapinya. Susah atau senang, semuanya dimaknai dengan adanya kebaikan dari Allah SWT.
Ia meyakini bahwa semua ketetapan Allah SWT adalan jalan yang harus dilaluinya menuju surga-Nya, tempat kenikmatan yang abadi. Ia tahu, dunia hanyalah tempat untuk diuji. Jika ia lulus, maka selamatlah di dunia dan akhirat.
Berbagai cobaan yang dialami juga menjadi media penyucian dari noda dosa dan kelalaian seorang hamba. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang muslim akan ditimpa penderitaan, kesakitan, kesedihan, kesusahan, dan kecemasan, sampai duri yang diinjaknya, melainkan Allah akan menghapuskan semua kesalahannya (sebab musibah yang diterimanya itu).” (Muttafaq alaih)
Ketahuilah, semua yang telah ditakdirkan Allah kepada hamba, pada hakikatnya mengandung kebaikan. Walau tak tampak. Misalnya, kaya arau miskin. Semua itu didasari atas ilmu Allah SWT yang Mahaluas terhadap sesuatu yang paling baik untuk hamba-hamba-Nya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang menghadap kepada-Ku dengan mencintai-Ku. Tidak ada yang dapat memberikan mudharat kepada kalian disebabkan sesuatu yang telah hilang dari kenikmatan dunia ketika kalian memang sudah memiliki bagiannya. Dan tidak ada yang dapat mencelakai kalian siapa saja yang telah memusuhi kalian ketika memang (kalian) ditakdirkan selamat.”
Sebuah kisah, Saad bin Abi Waqqash pernah mendoakan orang satu persatu. Doanya saat itu pun manjur. Lalu Abdullah bin Abi As-Sa’ib mendatangi Saad dan berkata: “Wahai pamanku, kenapa engkau tidak mendoakan dirimu sendiri saja agar Allah mengembalikan penglihatanmu? ”
Dia menjawab, “Wahai Anakku, qadha Allah telah ditetapkan kepadaku itu lebih baik daripada kembalinya penglihatanku.”
Dalam kisah yang lain, Imran bin Al-Husain pernah mengeluhkan rasa sakit pada perutnya. Dia terbaring lemas selama 30 tahun. Tidak bisa berdiri maupun duduk.
Bahkan tempat tidurnya yang terbuat dari pelepah kurma dilobanginya untuk keperluan buang hajat. Suatu waktu dia didatangi Muttharif dan saudaranya bernama al-A’la’. Muttharif pun menangis setelah melihat kondisinya.
Imran bertanya, mengapa dia menangis, lalu dijawab: “Sebab aku melihat kondisimu yang seperti ini.” Kemudian Imran bin Husain mengatakan, “Jangan kau menangis, karena seandainya Allah menjadikan penyakitku sebagai sarana untuk mencintai-Nya, maka tentu Allah akan menjadikan aku mencintai penyakit ini.” (Shalah al-ummah fii ‘uluwwi al-himmah). Subhanallah. (Aza)