Suatu hari, Anwar Harjono, salah seorang tokoh Masjumi dan DDII, pernah berkata:
“Kita tidak pernah merasa mempunyai lawan. Saya berkali-kali mengatakan bahwa saya tidak ingin mempunyai sikap siapa yang tidak setuju dengan pendapat saya, maka menjadi musuh saya. Saya tidak ingin demikian. Itu bukan sikap orang Islam. Saya punya ajakan kepada umat atau masyarakat bahwa lawan pendapat adalah kawan berfikir.” (Lukman Hakim, Utang Republik pada Islam, 2021:6)
Kalau dilihat dari sepak terjang tokoh-tokoh Masjumi dalam menjalankan politiknya, apa yang dikatakan oleh Bapak Anwar Harjono ini benar-benar nyata. Mereka ini, meski ada perbedaan pendapat di kalangan internal Masjumi, bahkan di luarnya, tidak membuat hubungan kemanusiaan sebagai kawan atau mitranya rusak. Contoh berikut –paling tidak– bisa menggambarkan fakta tersebut.
Tuan AR. Baswedan
Saat duduk dalam parlemen dari fraksi Masjumi, beliau banyak bergaul dengan tokoh-tokoh komunisme. Padahal, sudah diketahui oleh kebanyakan orang bahwa pemikiran antara Masjumi dan PKI laksana bumi langit. Namun, semua itu tidak menghalangi untuk menjalin perkawanan.
Sebagai contoh, apabila AR. Baswedan sedang sidang parlemen di Jakarta dan menginap dalam suatu hotel (yang disediakan oleh parlemen), maka ia memilih kawan sekamarnya dari fraksi komunis dan bukannya dari fraksi Islam, sebagaimana kawan-kawannya yang lain. Pendekatan dan pergaulannya yang erat dengan tokoh-tokoh nasionalis dan komunis itu untuk mengkaji secara mendalam tentang komunisme itu sendiri dan taktiknya.
Di dalam satu kamar penginapan itu antara mereka dapat saling menyampaikan pemikiran dan dapat menangkap kehendak masing-masing pihak. (Suratmin, Abdul Rahman Baswedan Karya dan Pengabdiannya, 1989: 125) Walau banyak perbedaan, tidak menghalangi Baswedan untuk menjalin perkawanan. Sehingga, dia bisa mengetahui secara langsung pikiran dan pendapat orang yang berpaham komunis. Bukan dengar dari cerita orang lain yang rawan tambahan dan reduksi.
Buya Mohammad Natsir:
Demikian dengan Buya Mohammad Natsir. Sebagaimana diketahui khalayak umum, Masyumi dan PKI merupakan dua yang tidak mungkin bertemu. Meski demikian, Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ada kisah menarik di mana ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, padahal kala itu, Aidit menjabat sebagai Ketua PKI. (Majalah Tempo, Edisi 100 Tahun Natsir, hal: 48)
Dalam satu wawancara dengan wartawan majalah Tempo, Prof. Yusril cerita, Natsir sering tak bisa mengendalikan emosi ketika berdebat dengan Aidit di parlemen, “Pak Natsir bilang rasanya dia ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi.” Tapi, hingga rapat selesai, tak ada kursi yang melayang ke kepala Aidit. Semua berjalan aman seperti biasa laiknya teman. Malah, begitu meninggalkan ruang sidang. Aidit membawakannya segelas kopi. Keduanya lalu membincang tentang keluarga masing-masing. Itu terjadi berkali-kali, “Kalau habis rapat ta ada tumpangan, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit dari Pejambon,” cerita Yusril. Sebuah gambaran yang sangat mesrah yang digambarkan oleh tokoh yang secara ideologi bertentangan.
Kisah itu menggambarkan bahwa hubungan pribadi tetap baik dan tidak ada rasa permusuhan. Secara lahiriah memang mereka berkompetisi satu sama lain, tetapi semuanya berlangsung dengan cara dan sikap terbuka,” kenang Natsir. Bagi Buya Natsir, perbedaan pendapat justru menumbuhkan adanya keperluan untuk bermusyawarah guna mencari kesepakatan bersama. Andaikata kesepakatan tidak tercapai, berpisah atau bercerailah dalam keadaan dan suasana yang baik. “Jadi, ada toleransi dan saling harga menghargai sama lain,” kenang Natsir lagi. (Biografi M. Natsir, Lukman Hakiem, XXIII)
KH. Isa Anshari
Siapa yang tidak kenal KH. Isa Anshary yang sangat kritis dan tegas terhadap pandangan-pandangan PKI dan komunisme. Bahkan mendirikan Front Anti Komunis. Meski demikian, tidak merusak hubungan kemanusiaan. Dalam majalah tempo edisi khusus tentang Natsir, diceritakan oleh Pengacara Kondang, Adnan Buyung Nasution, bahwa Kiai Isa Anshari serig mengajak Aidit dan Nyoto makan sate setelah berdebat. “Kalau Aidit ke Sukabumi, dia menginap di rumah Kiai Anshari.” Kalau sampai makan bareng dan menginap, menunjukkan betapa mereka tidak ada persoalan dalam masalah perkawanan dan menunjukkan kedekatan, meski secara pandangan berbeda pendapat.
Mr. Prawoto dan Mr. Roem
Tokoh Masjumi lain yang bisa diangkat dalam tulisan ini adalah Prawoto Mangkusasmito dan Moh. Roem. Sangat akrab dengan I.J. Kasimo dan beberapa tokoh lain yang berbeda agama, bahkan kabarnya, Kasimo pernah membelikan rumah untuk Prawoto sebagai gambaran akan kedekatan mereka secara kemanusiaan meski secara ideologi politik dan agama berbeda.
Demikian juga Moh. Roem. Menurut Joesoef Isak, pada masa Orde Baru, Roem sering bertemu Oei Tjoe Tat, tokoh Tionghoa dan bekas menteri Kabinet Dwikora. Padahal, pada era Demokrasi Terpimpun, keduanya bersebrangan. Oe aktif di Partai Indonesia, yang dianggap berafiliasi dengan PKI.
Suatu ketika keduanya berpapasan. Oei menegur Roem: “Roem, kok bisa ya kita ini berhadapan dalam politik? Padahal kita toh enggak ada apa-apa.” Tak ada orang lain di dekat mereka saat itu, tapi Roem menjawab dengan berbisik: “Oei, kita kan sama dididik Belanda. Jadi, kita harus menghargai orang lain. Perbedaan pendapat itu biasa.” (Majalah Tempo, Edisi Natsir) Perhatikan! Bagi mereka perbedaan adalah hal biasa. Perbedaan tidak merusak hubungan interaksi yang baik di antara mereka.
Sebagai penutup, kisah berikut ini juga tidak kalah menarik untuk diangkat dalam tulisan ini. Dalam surat kabar Harian Kedaulatan Rakjat pada rubrik Berabe (No. 88, Rabu 12 Januari 1955), disebutkan contoh apik mengenai perbedaan haluan politik tapi tidak merusak hubungan kemanusiaan.
Di dalamnya tertulis, “Anggauta2 parlemen B.T.I. N.U., Masjumi, P.S.I., jang di parlemen debat-debatan sampai ototnja hampir2 kortsluiting, kalau naik sepur bersama-sama. Kalau djajan bersama-sama. Mas Prawoto (Masjumi) pindjam ,De Lach’ dari Mas Sardjono (B.T.I), Mas Sardjono pindjam ,Piccolo’ dari Mas Prawoto, Mas Djohan Sjahruzah (P.S.I) traktir Kobarsji (S.B.L.G.I) dan Kiai Wahab (N.U.) disebelah mereka duduk Subadio (P.S.I).”
Mereka ini secara pendapat bisa berbeda, tapi sangat baik hubungannya secara sosial. Di parlemen bisa bersitegang, debat sengit, bahkan seakan-akan sampai hendak adu jotos, namun ketika sudah selesai mereka laiknya kawan, bisa naik kereta bersama, saling pinjam sepeda, saling traktir dan duduk berdampingan. Apa rahasianya? Sebagaimana kata Dr. Anwar Harjono, “Lawan pendapat adalah kawan berpikir.”