Untuk memperkuat aspek spiritual dalam diri kita, Islam mengajak kita untuk beriman kepada Allah SWT, bertauhid, dan menyembah-Nya.
Iman kepada Allah mengarah pada pembebasan manusia dari ketakutan akan hal-hal yang ditakuti kebanyakan orang. Iman mengajarkan kita ke mana seharusnya berasandar, berharap, dan meminta tolong. Yaitu kepada Allah SWT semata, bukan kepada makhluk yang juga punya ribuan, bahkan jutaan harapan dan permintaan. Minta dan berharaplah kepada pemilik bumi dan langit, bukan kepada makhluk san pencari dunia semata.
Seorang mukmin sejati tidak takut akan kemiskinan, penyakit, malapetaka hidup, kematian, atau kekuatan manusia. Dia tahu bahwa rezekinya ada di tangan Allah Yang Maha Esa dan bahwa dia hanya akan terpengaruh oleh apa yang sudah ditakdirkan baginya.
Di langit ada rezeki kita dan apa yang dijanjikan kepada oleh Allah SWT. Kebaikan dan keburukan, pahala dan hukuman, dan lainnya semuanya telah tertulis dan ditakdirkan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَفِى ٱلسَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS Az-Zariyat: 22)
Dalam Surat Al-Hadid Ayat 22, Allah SWT berfirman:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Menurut As-Sa’di, Allah SWT mengabarkan luasnya Qadha dan Qadar-Nya, “Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri,” ini mencakup seluruh musibah yang menimpa makhluk, baik dan buruknya, kecil atau besar, semuanya telah tertulis di Lauhul Mahfuzh. Ini merupakan sesuatu yang besar dan agung yang tidak bisa dicerna akal, bahkan bisa mengacaukan hati orang-orang berakal, namun hal itu mudah bagi Allah.
Iman yang benar kepada Allah disertai ketakwaan. Ketakwaan kepada Allah SWT adalah jika seseorang melindungi diri dari murka dan siksaan-Nya dengan menjauhi perbuatan dosa dan mendekat kepada-Nya, sehingga dia melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Iman tidak terbatas pada suasana psikologis yang terisolasi dari kehidupan, melainkan merupakan motif terbesar untuk bergerak di tengah-tengah kehidupan dan untuk interaksi yang sadar dan terarah. Interaksi dengan orang dan situasi, itulah hakikat iman dalam Islam yang mengaitkan antara iman dengan kerja sosial dan kemanusiaan atau antarasesama. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَٰدُكُم بِٱلَّتِى تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰٓ إِلَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَأُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ جَزَآءُ ٱلضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا۟ وَهُمْ فِى ٱلْغُرُفَٰتِ ءَامِنُونَ
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh), mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (QS Saba: 37)
Teks-teks dalam Islam menunjukkan bahwa hubungan antara iman dan pekerjaan menyingkap peran besar pekerjaan dalam kehidupan iman. Dengan demikian, iman tidak mengambil nilai positifnya dan karakternya yang benar jika dilucuti dari tindakan atau amalan. Nilai keimanan akan menjadi terbengkalai tanpa usaha dan interaksi sosial.
Sebaliknya, amalan atau tindakan tanpa iman, juga menjadi nilai negatif yang diabaikan karena pemiliknya kehilangan sisi iman. Ia akan menjadi bernilai tinggi jika iman mendahului tindakan, dan menghunjam dalam hati orang yang beriman kepada Allah SWT.
Dengan demikian, Islam menghendaki agar manusia mencapai keseimbangan dalam bidang hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ia beriman kepada-Nya dengan iman yang tulus dan ikhlas, dan sekaligus bekerja di jalannya dengan keikhlasan. Keikhlasan menjadi karakter Islam yang shaleh.
Islam menganggap bahwa ketidakseimbangan dalam hubungan iman dan kerja akan melemahkan hasil akhirnya. Dengan demikian kepribadian akan kehilangan semangat keislamannya, dan bahkan akan menjauh dari pendekatan Islam jika kehilangan salah satu dari dua elemen (iman atau kerja).
Pada kenyataannya, ketika kita menerapkan konsep Islam, kita dapat menemukan efek negatif dari ketidakseimbangan dalam hubungan iman dan kerja. Jika seorang muslim bergerak dan memasuki lapangan kerja tanpa keseimbangan keimanan yang disyaratkan, maka ia tidak termasuk faktor keislaman, karena perbuatannya akan bersumber dari keinginan-keinginan pribadi yang diinginkannya di mana ia hanya ingin memenuhi kebutuhan dan keinginan jiwa, meskipun penampilannya islami. (Aza)