Kabar meninggalnya cendekiawan muslim dan intelektual bangsa Prof Azyumardi Azra –dimana Prof Haedar Nashir menyebut maqomnya kelas begawan atau rasih fil-‘imi, itu berkenaaan dengan keilmuannya–cukup mengagetkan.
Prof Azyumardi Azra, adalah intelektual muslim yang tawadhu. Biasa dipanggil dengan Prof Azra atau Bang Azra. Seorang dengan kepribadian humble, meski pada orang yang baru dikenalnya, atau bahkan belum dikenalnya sekalipun. Jika disapa ia menyambut dengan keramahannya.
Pantas jika saja semua tiba-tiba merasa kehilangan Prof Azra (meninggal sekitar pukul 12.30 waktu Malaysia, Minggu/18 September), lalu menyampaikan beberapa pendapat tentangnya. Itu hal wajar. Seorang kawan, selang sekitar dua jam dari kabar wafatnya Prof Azra, mengirim pesan WhatsApp, menyampaikan kesannya. Begini katanya, Prof Azra itu intelektual organik yang luar biasa. Jujur, berani dan sangat responsif.
Bisa dipastikan semua yang mengenal Prof Azra, akan mampu menuliskan kesan kekaguman atasnya. Seperti saya pun nekat menulis kesan tentangnya dalam sebuah tulisan ala kadarnya.
Bang Ilham Bintang sebelumnya, Jumat (16 September) memberitakan tentang kesehatan Prof Azra lewat tulisan cukup komplit, sejak saat di pesawat menuju Malaysia. Menjelang pesawat landing sekitar 20 menit Prof Azra mengalami sesak napas yang sangat. Awalnya ia disebut terserang covid orang tanpa gejala (OTG). Langsung dirawat di RS Serdang, Selangor. Tapi pihak rumah sakit menjelaskan bahwa Prof Azra meninggal disebabkan Acute Inferior Myocardial Infarction, semacam kelainan pada jantung. Apapun sakit Prof Azra, itu cuma cara Allah memanggilnya.
Prof Azra baru sekira 4 bulanan menjabat sebagai Ketua Dewan Pers (2022-2025), menggantikan Prof Mohammad Nuh. Beliau memang tampak aktif. Kesibukan pada jabatan barunya itu pastilah melelahkan buat orang seusianya. Berbagai persoalan di dunia pers memang seperti susul-menyusul, yang perlu ditangani dengan segera.
Terpilihnya Prof Azra di Dewan Pers disambut berbagai kalangan dengan suka cita, utamanya mereka yang berharap pada pers yang bebas dan jauh dari intervensi rezim. Dewan Pers senantiasa diharap berpihak pada kebenaran. Apalagi memasuki tahun politik, menjelang Pemilu serentak 2024, kehadiran Prof Azra dan Dewan Pers diharap bisa jadi “wasit” yang adil atas berbagai pelanggaran yang sekiranya muncul.
Melihat latar belakang beberapa Ketua Dewan Pers sebelumnya, sepertinya hanya Prof Azra yang jelas punya latarbelakang jurnalis. Beliau pernah sebagai wartawan Panji Masyarakat di pertengahan tahun 70-an. Sedang Ketua Dewan Pers sebelumnya, beberapa nama yang saya ingat, Prof Ichlasul Amal, Prof Bagir Manan dan Prof Mohammad Nuh lebih berlatar akademis ketimbang jurnalis.
Disamping itu Prof Azra salah satu intelektual yang tak henti menulis artikel apa saja yang dirasanya perlu untuk dibagikan, baik masalah sosial maupun keagamaan. Setidaknya sebulan sekali tulisannya muncul di Republika pada rubrik Resonansi. Juga tulisan-tulisan lain yang muncul di media nasional. Prof Azra bisa jadi salah satu intelektual Indonesia disanping paling aktif menulis, juga dalam menghasilkan buku. Ada 44 judul buku karyanya yang sudah diterbitkan. Belum lagi makalah dalam setiap seminar yang diikutinya, yang jumlahnya tak terhitung.
Saya mengenal Prof Azra –saat itu beliau belum doktor– di tahun 90-an. Adalah Bang Fachry Ali yang mengenalkan. Dan rutin di tahun-tahun itu saya kirim buku terbitan Risalah Gusti, itu sebelum beliau melanjutkan studinya di Amerika. Jika ada yang pas, tak segan ia meresensinya, tanpa saya memintanya. Diantara buku yang diresensinya, yang saya ingat, adalah “Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat”, karya Mehdi Nakosten. Resensi di MBM Tempo.
Satu lagi kesan pada Prof Azra adalah sikap kejujuran intelektualnya. Ada pengalaman menarik tentangnya. Suatu waktu adik saya yang bungsu mendapat beasiswa dari International Development Bank (IDB) untuk studi doktoral di Australia. Setelah lolos ujian berjenjang dari sekian orang sampai mengerucut pada 5 nama. Dan yang diambil hanya 2 orang. Penguji terakhir yang langsung ditunjuk oleh IDB adalah Prof Azyumardi Azra dan Prof Amin Abdullah.
Setelah adinda selesai diuji, baru Prof Azra bertanya pada adinda, Saya ada kawan di Surabaya (Prof Azra menyebut nama saya). Apa masih ada hubungan? Saya tanya itu karena ada nama Amar dibelakang namamu, dan sama-sama tinggal di Surabaya. Itu abang saya, jawab adinda. Katanya lagi, makanya itu saya tidak mau tanya di depan tadi agar saya tidak terpengaruh saat menguji. Jika sudah selesai menguji, saya tanya itu tidak akan mempengaruhi penilaian saya atasmu.
Itulah Prof Azra, yang semua orang bisa menuliskan pengalaman kebaikan tentangnya. Pantaslah jika semua orang lalu merasa kehilangan sosok yang selalu tampil sederhana. Sosok yang nyaris tak berubah jika kita mengenalnya dari masa ke masa.
In Syaa Allah beliau termasuk yang diwafatkan dalam syahid, itu karena ia berniat mendatangi majelis untuk berbagi ilmu. Perjalanan beliau ke negeri jiran, itu untuk memenuhi undangan seminar Konferensi Internasional Kosmopolitan Islam, yang dilaksanakan ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia), di Selangor, Malaysia. Makalah yang disiapkan dan sedianya akan dibawakan (17 Sepetember), adalah “Nusantara Untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan Peran Umat Muslim Asia Tenggara”.
Bisa jadi itulah makalah terakhir yang ditulisnya. Saya membaca makalah Prof Azra di atas, sekitar 7 halaman. Seperti biasanya, berbobot. Semua paragraf yang ditulisnya berkelas. Tulisannya selalu kuat akan narasi dan diksi sekaligus. Pokoknya, daging semua.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menukil satu paragraf dari makalahnya, dalam sub judul “Prasyarat Kebangkitan”. Begini tulisnya:
Konsolidasi demokrasi dan politik di kedua negara berpenduduk mayoritas Muslim ini mutlak untuk pembangunan peradaban utama juga meniscayakan partisipasi publik dalam proses politik demokrasi dengan segala ekses negatif yang sudah sampai pada titik yang tidak bisa dimundurkan lagi ( _point of no return_). Tetapi juga jelas, proses politik demokrasi di Malaysia dan Indonesia masih menyisakan banyak masalah, sejak dari fragmentasi politik, kepincangan politik, oligarki politik, korupsi, tidak fungsionalnya _check and balances_ dan seterusnya.
Bisa jadi ini makalah terakhir yang ditulis Prof Azra. Keinginan akan munculnya “kebangkitan Islam” yang sampai saat ini masih jauh dari harapan, tetapi yang terus diikhtiarkannya.
Selamat jalan Prof Azyumardi Azra… (*)