JAKARTA – Miliarder India Gautam Adani terdepak dari daftar 10 orang terkaya di dunia karena masalah yang menimpa perusahaannya. Kini dia tengah berusaha meyakinkan investor setelah perusahaannya membuat kejutan dengan membatalkan penjualan sahamnya.
Pada Rabu pekan lalu, Adani Enterprises mengatakan akan mengembalikan US$2,5 miliar (senilai Rp37,8 triliun) yang diperoleh dari penjualan kepada investor.
Keputusan itu tidak akan memengaruhi “operasional kami yang sedang berlangsung dan rencana-rencana di masa depan”, kata Adani dilansir BBC News Indonesia.
Langkah itu akhirnya diambil setelah berbagai masalah muncul pasca-perusahaan investasi AS menuduh perusahaan Grup Adani melakukan penipuan berupa manipulasi saham.
Skandal itu membuat grup perusahaannya kehilangan US$108 miliar (senilai Rp1.635 triliun) dari nilai pasar mereka selama beberapa hari terakhir.
Adani sendiri telah kehilangan US$48 miliar (senilai Rp726,7 triliun) dari kekayaan pribadinya, dan sekarang berada di urutan ke-16 dalam daftar miliarder real-time Forbes.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Pada Januari 2023, Adani adalah orang terkaya ketiga di dunia.
Saham Adani Enterprises, perusahaan utama dari konglomerasi pelabuhan sampai energi, mulai dijual pada 25 Januari dalam penawaran saham sekunder terbesar di India.
Namun, sehari sebelumnya, firma investasi Hindenburg Research yang berbasis di AS menerbitkan sebuah laporan yang menuduh kelompok Adani melakukan manipulasi saham dan penipuan akuntansi yang “kurang ajar” selama puluhan tahun.
Hindenburg berspesialisasi dalam “penjualan jangka pendek” – bertaruh melawan harga saham perusahaan dengan harapan akan jatuh.
Grup Adani memberikan tanggapan dengan menyebut laporan tersebut sebagai “kombinasi jahat dari kesalahan informasi selektif dan tuduhan basi, tidak berdasar, dan mendiskreditkan”, tetapi itu tidak cukup untuk membendung ketakutan investor.
Grup perusahaan Adani memiliki tujuh perusahaan publik yang beroperasi di berbagai sektor, termasuk perdagangan komoditas, bandara, utilitas, pelabuhan, dan energi terbarukan.
Banyak bank India dan perusahaan asuransi milik negara yang telah berinvestasi atau meminjamkan miliaran dolar kepada perusahaan-perusahaan yang terkait dengan grup tersebut.
Apakah hanya itu?
Tidak. Saat kejatuhan pasar berlanjut, Grup Adani mengeluarkan sanggahan terperinci – mencapai lebih dari 400 halaman – dan menyebut laporan Hindenburg sebagai “serangan yang sudah direncanakan terhadap India”.
Mereka mengaku telah mematuhi semua undang-undang setempat dan telah membuat pengungkapan peraturan yang diperlukan.
Grup Adani juga menuduh laporan itu dimaksudkan untuk memungkinkan Hindenburg “membukukan keuntungan finansial besar-besaran melalui cara yang salah dengan mengorbankan investor yang tak terhitung jumlahnya”.
Hindenburg, bagaimanapun, tidak menanggapi laporan tersebut dan mengatakan bahwa Grup Adani “gagal menjawab 62 dari 88 pertanyaan kami secara spesifik”.
Apa reaksi pasar?
Saat penjualan saham Adani Enterprises dimulai pada 25 Januari, responsnya tidak besar. Hanya 3% sahamnya yang berhasil terjual pada hari kedua karena investor ritel menjauh.
Namun, investor asing dan dana perusahaan menopang grup tersebut – pada 30 Januari.
Perusahaan Induk Internasional Abu Dhabi, yang mendapat dukungan financial dari anggota keluarga kerajaan UEA, menginvestasikan US$400 juta (senilai Rp6 triliun) dalam penjualan saham.
Dalam menit-menit terakhir, taipan India Sajjan Jindal dan Sunil Mittal juga membeli saham secara pribadi, menurut laporan Bloomberg.
Analis Ambareesh Baliga mengatakan kepada Reuters setelah penjualan saham bahwa grup tersebut tidak dapat memenuhi tujuannya untuk “memperluas kepemilikan saham”.
Saham perusahaan-perusahaan dalam grup juga terus turun.
Lalu bagaimana selanjutnya?
Laporan Reuters dan Bloomberg menyebut bahwa bank sentral India telah meminta pemberi pinjaman negara untuk memberikan rincian paparan mereka terhadap grup tersebut.
Dalam pernyataannya kepada bursa India, Adani berkata, “Neraca kami sangat sehat dengan arus kas yang kuat dan aset yang aman, dan kami memiliki rekam jejak yang sempurna dalam membayar utang kami.”
Namun, Edward Moya, seorang analis di broker OANDA, mengatakan kepada Reuters bahwa penarikan penjualan saham itu “mengganggu” karena “seharusnya menunjukkan bahwa perusahaan masih dipercaya karena memiliki investor-investor bernilai tinggi”.
Unit kekayaan bank investasi Amerika, Citigroup, telah berhenti menerima sekuritas grup Adani sebagai jaminan untuk marjin.
Sementara Credit Suisse berhenti menerima obligasi grup tersebut. Unit pemeringkat Moody’s ICRA mengatakan sedang memantau dampak dari perkembangan terakhir pada saham Grup Adani.
Investor ritel menjauh dari penjualan saham Adani Enterprises.
Namun, Vinayak Chatterjee, pendiri dan sekaligus managing trustee Yayasan Infravision, optimis, menyebut situasi saat ini sebagai “kegagalan jangka pendek”.
“Saya telah mengamati kelompok ini selama seperempat abad sebagai ahli infrastruktur. Saya melihat berbagai proyek operasi dari pelabuhan, bandara, semen hingga energi terbarukan yang solid, stabil, dan menghasilkan arus kas yang sehat. Mereka benar-benar aman dari pasang surut yang terjadi di pasar saham,” katanya kepada wartawan BBC Arunoday Mukharji.
Namun, Hemindra Hazari, seorang analis riset independen, mengaku terkejut dan mengatakan, “kami belum mendengar apapun dari regulator pasar SEBI atau pemerintah sampai sekarang”.
“Mereka seharusnya berbicara untuk menenangkan para investor,” katanya kepada BBC.
Masalah ini juga memicu pertikaian politik.
Adani dianggap dekat dengan Perdana Menteri Narendra Modi dan telah lama menghadapi tuduhan dari para politisi oposisi bahwa dia mendapat keuntungan dari pertaliannya dengan politiknya. Hal itu dibantah Adani.
Pada Kamis lalu, partai oposisi menuntut diskusi di parlemen tentang risiko investor India dari jatuhnya saham perusahaan Adani. Mereka juga meminta penyelidikan atas tuduhan Hindenburg.
(Nto/BBCNewsIndonesia)