Ibarat semut dan gula. Semut tahu mana yang manis, dan berusaha menguasai dan mengisap sarinya. Begitu pula hidayah, meski banyak orang tak tahu, enggan, dan abai pada manisnya hidayah.
Anda semua orang berperilaku seperti semut. Sekali menemukan hidayah, pantang lepas dari dekapan. Bahkan berbagi, sebagaimana semut saling menginformasikan di mana ada gula. Gotong royong pun dilakukan untuk memindahkan dan menguasainya, serta dibawa ke sarang mereka.
Namun, bukannya kebanyakan orang yang tahu manisnya iman. Justru musuh hidayah itulah yang sangat tahu dan paham manisnya hidayah. Setan membaluti hidayah dengan balutan dan bisikan kesesatan. Manusia tak boleh tahu manis dan dahsyatnya hidayah.
Setiap ada orang yang mencoba mendekati hidayah, ingin hijrah, mulai mengaji, dan belajar agama, setan datang dan mendekat. Setan datang mengaburkan manisnya hidayah, menggoda, memperdaya, hingga menyesatkannya. Dibisikkan bahwa hidayat itu pahit dan berat. Diganggu dan dialihkan langkah orang yang mendekat untuk mencicipi nikmatnya hidayah.
Di mana ada gula di situ ada semut. Seharusnya kita juga begitu. Di mana ada hidayah, di situ ada kita. Sekali bertemu, pantang lepas hingga ajal memisahkan. Jangan mau diakal-akali dan dibodoh-bodohi setan. Belajarlah dari semut.
Semut masih jujur. Ia tak mungkin mengelabui manusia tentang manisnya gula. Setan sebaliknya. Yang pahit dibilang manus, yang manis dikatakan pahit.
Bandingkan dengan alkohol dan minuman keras yang memabukkan. Botolnya dikemas mewah dan nilai seni tinggi, tetapi isinya pahit. Harganya pun selangit, tapi masih dibeli. Setan berbisik, inilah yang terbaik. Asyik meski memabukkan. Begitulah tipu daya setan.
Sebut saja gula pasir, gula aren, atau gula merah. Jika Anda masuk ke pasar tradisional, tak sedikit ditemukan hanya dibungkus plastik. Ada yang dibungkus daun atau kulit rumbia. Jika Anda tidak tahu bahwa itu berisi gula, tak akan mau meliriknya. Anda harus tahu dan yakin dulu. Yakin benar-benar manis, tanpa diberi tahu. Begitulah iman.
Kepada hidayah, Al-Qur’an, kitab-kitab hadits dan kitab-kitab karya para ulama, juga sudah dikemas dengan cover istimewa, diembos, atau hard cover. Tapi setan menutupi pandangan manusia. Ia membungkus akal sehat dengan diksi penyesatan. Hidayah dan Al-Qur’an dibuatnya tidak menarik.
Yang terjadi. Di mana ada hidayah, di situ ada “setan” sebagai penghalang dan penggoda. Al-Qur’an dikerubutinya bak semut kepada gula. Tapi setan menyesatkan. Semakin Anda baca, semakin kuat embusan dan tiupan penyesatan setan. Butuh iman, istiqamah, niat lurus, dan hati ikhlas, agar pembacanya tidak takluk dan kalah dari pengaruh setan.
Butuh perlindungan berlapis agar setan lari dan lempar handuk. Misalnya, membaca ta’awwudz atau isti’adzah, berdoa, dan iman terlebih dahulu kepada Al-Qur’an sebelum membacanya. Jika tidak, maka setan akan berkumpul dan menggoda agar pembaca Al-Qur’an lebih mementingkan urusan lain.
Begitulah kebaikan. Oleh setan dikemas buruk. Kadang ditiupkan kepadanya api amarah, agar manusia sombong dan angkuh. Bicara tanpa dasar agama, meski mengaku percaya agama. Kadang ditiupkan angin sepoi-sepoi agar manusia terlena, tidur, dan lalai. Atau, dibuat gelisah. Pikiran melayang, ingatan melanglang buana. Al-Qur’an di hadapan mata tinggallah gambar dan tulisan. Rasa manis dan nikmatnya tak tergapai.
Dalam membaca Al-Qur’an pun, misalnya, kadang kita dibuat serakah. Bahkan ingin langsung menguasai dan menghafal banyak ayat dan surat-surat Al-Qur’an dalam waktu sesaat. Karena hasratnya membuncah, target melampaui batas, tujuan tak tercapai, dan akhirnya… Putus asa. Al-Qur’an pun kembali ditinggalkan. Setan berhasil mengalihkan pikiran dan aktivitas kita. Naudzubillah min dzalik.
Padahal, kita diajarkan belajar secara bertahap agar ilmu dan substansi ajaran meresap. Kedua, butuh juga durasi atau mulazamah, yakni waktu yang panjang demi menancap-kokohkan keimanan ke dasar hati. Ketiga, butuh kontinuitas atau istiqamah. Wali sedikit demi sedikit asal berangsur-angsur dan berkelanjutan (sustainable).
Keempat, iman dulu pada Al-Qur’an baru mempelajari, membaca, dan mengamalkan. Jika tidak, bisa keropos karena apa yang ingin diamalkan tak menghujam ke dalam dada. Mudah rapuh dan patah karena pondasinya bukan keyakinan yang penuh. Wallahu a’lam. (Aza)